ILMUAN MUSLIMAH BAGIAN ULAMA PENGAWAL UMMAT


PENDAHULUAN

Wanita disamping perannya dalam keluarga, ia juga bisa mempunyai peran lainnya di dalam masyarakat dan Negara. Jika ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya. Begitu pula jika ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang tertentu, maka ia bisa mempunyai andil dalam urusan tersebut namun dengan batasan-batasan yang telah disyariatkan dan tentunya setelah kewajibannya sebagai ibu rumah tangga telah terpenuhi.

Banyak hal yang bisa dilakukan kaum wanita dalam masyarakat dan Negara, dan ia punya perannya masing-masing yang tentunya berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para shahabiyah nabi.
Pada jaman nabi, para shahabiyah biasa menjadi perawat ketika terjadi peperangan, atau sekedar menjadi penyemangat kaum muslimin, walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang juga ikut berjuang berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan syahadah fii sabilillah, seperti Shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang melindungi Rasulullah dalam peperangan.
Sehingga dalam hal ini, peran wanita adalah sebagai penopang dan sandaran kaum laki-laki dalam melaksanakan tugas-tugasnya

Ulama adalah para Ilmuan, itu adalah makna luasnya. Tapi spesifiknya adalah mereka yang menguasai Ilmu Agama Islam dan seluruh seluk beluknya, termasuk para wanita. Sebagai Ulama mereka punya tanggung jawab mengawal Aqidah dan keberislaman umat. Beberapa tanggung jawab sebagai Pewaris Nabi dalam  hal dakwah. Diantaranya: AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR dan YAD'UNA ILAL KHAIR.

Terkesima dengan opini sebagian bahwa Ulama itu harus menulis Buku/Kitab agar ilmunya jangan punah bila mereka tiada. Jadi Ulama tidak habis bila ada meninggalkan Kitab atau berbagai karyanya yang ditulis.  Betul itulah yang diharapkan dari Ulama. Tapi bukan berarti kehadiran Ulama tidak bermakna  bilapun tidak ada Kitab atau  hasil karya tulisnya. Apalagi dalam situasi kekinian, disaat karya para Ulama dan para Akademisi mesti punya modal awal sendiri.

MODEL DAKWAH

Bila lebih jauh dibicarakan, terlihat dan terasa bahwa Ulama itu memiliki tugas berat. Setidaknya :

1. YAD'UNA ILAL KHAIR,  arti harfiahnya; Ulama adalah mereka yang menyeru untuk menjalankan aturan Agama, baik secara lisan tentu sangatlah baik bila ada dalam bentuk tulisan. Tapi harus kita pahami ketika seorang Ulama sibuk dengan aktivitas lisaniah dan mimbariyah lalu kapan ada waktu menulis? Kenapa? Menulis itu butuh waktu, butuh sarana, butuh biaya  dsb. Bukankah mereka yang banyak ide lalu ingin dituliskan mereka dihempang oleh konsekwensi yang harus ditanggung sendiri? Ya betul zaman Al-Makmun saat Baitul Hikmah di Baghdad eksis para Ulama  kaya karya tulis, sebab ada fasilitas yang lengkap. Termasuk kesejahteraan mereka sepenuhnya jadi tanggungan BAITUL MAL WATTAMWIL, ada lumbung umat  semacam dana abadi umat, makanya membuat Negara maju serta  menempatkan posisi Ulama, Ilmuan, Akademisi, Peneliti sebagai Matahari Penerang mengukir Peradaban, bukan dibungkam dan dipinggir-pinggirkan bagaikan tumpukan barang bekas menunggu dimusnahkan.

Ulama itu walau hanya dengan cara lisaniyah berjuang mengajak kepada jalan kebenaran mereka adalah Ulama, asatizh-asatizhah dan  sebagai suluh di masyarakat. Alhamdulillah mereka masih ada dan umumnya merereka hidup dengan sejuk dan tanpa mau ikut konplik kepentingan. Mereka berjalan untuk dakwah meyeru kepada kebaikan. Inilah satu kelompok barisan Ulama yang hanya tau dakwah agar masyarakat jadi baik senantiasa taat pada Alloh. Mereka hanya berdakwah dengan Billisan.

Disamping Ulama  mengambil peran hidup sebagai Da'i (yadu'na ilal khair) yang menyampaikan ajaran Islam dengan cara mengajak untuk taat dan patuh kepada Allah serta memperbanyak anjuran terhadap ummat untuk tampil sebagai barisan yang gemar berbuat baik, tentu ada gaya lain sesuai dengan dimensi tugas Ulama, yaitu ;

2.  NAHI MUNKAR

Ulama itu memiliki tanggung jawab moral yang amat luas, disamping mengajak untuk kebaikan dan ketaatan, juga Ulama punya tugas berat yaitu "melarang orang berbuat jahat"

Dalam Riwayat Imam Muslim, Rasulullah bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
"Bangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka berantaslah dengan tangannya (perbuatan). Jika tidak mampu, maka dengan lisannya (ucapan). Jika tidak mampu, maka ingkarilah dengan hatinya. Ini adalah iman yang paling lemah. (HR Muslim)"

Sesuai Hadis di atas mencegah kemungkaran itu ada tiga pendekatan yakni: Pertama, dengan kekuatan tangan, bisa kekuasaan, bisa pengorbanan tenaga dan bentuk fisik lainnya. Dalam memaknai dan melunasi utang kepada Allah dan tanggung jawab inilah yang membuat  posisi Ulama amat dilematis. Kenapa? Berdakwah untuk mencegah kemungkaran itu dengan kekuatan fisik sangat rentan mengundang masalah sosial, politik dan ekonomi. Pokoknya sangat kompleks dan menyangkut dengan seluruh dimensi kehidupan. Apalagi tugas ini bisa berbenturan dengan kepentingan kekuasaan menyebabkan Ulama bisa berbenturan dengan pihak penguasa. Kendati prinsip pemberantasan penyakit sosial sama saja sebenarnya. Sehingga sering sinergitas terbangun antara Ulama dan Umara.

Apalagi pada suatu negeri nilai rujukan kehidupan bukan berdasar ajaran Islam, patron penyakit sosial bisa tidak sama. Disaat itulah Ulama sangat repot dan serba salah. Satu sisi sangat menyadari tanggung jawabnya sebagai "Pewaris Nabi" pada sisi lain keinginan menghargai Pejabat Negeri. Katakan saja bila pada suatu daerah Pejabatnya melegalkan Kawin Antar Satu Jenis Kelamin tentu Ulama jadi tidak bisa tidur dan mesti melakukan tugasnya.

Bila kita coba melihat realiras, maka selalu Ulama melakukan penyikapan. Ada dengan cara memberi masukan, bila tidak direspon ada yang menjadi kritis, sangat kritis hingga melakukan perlawanan dengan cara "membangun kekuatan sosial" hingga berafiliasi kepada kekuatan sosial politik. Disinilah yang sering terjadi bahwa Ulama itu bisa jadi korban kekuasaan. Dikarenakan mereka dianggap mengganggu bisa mereka para Ulama dipidanakan oleh pihak ketiga yang keberatan dengan pandangan Ulama, sehingga menyebabkan mereka hatus masuk penjara.

Dibanyak negeri keadaan seperti ini selalu muncul. Tidak perlu jauh jauh, bisa dilihat bagaimana perjalanan hidup empat Imam Mazhab, mereka rata rata mendapat perlakuan hingga masuk penjara dikarenakan mereka mengkritisi hal hal yang dianggap bertentangan denga ajarat Islam. Ulama yang melakoni dakwah "Nahi Munkar" pasti rentan dan.beresiko keluar masuk penjara hingga mengalami pembunuhan. Bila mereka surut, jadilah ambil jalan kedua dan ketiga yakni menyuarakan kebenaran serta larangan  agama sesantun mungkin atau menolak dalam hati saja. Ini adalah bagian terlemah.

Berdakwah atau mewarisi perjuangan Rasulullah saw, dengan cara atau pendekatan Nahi Munkar sangat berisiko. Maka tidak semua Ulama menyiapkan diri untuk pengorbanan seumpama atau mengikuti Rasulullah saw yang siap dengan segala risiko. Menghadapi medan dakwah dipastikan sangat beragam begitu juga prilaku masyarakat, ada memyegani dan mendengar serta ikut fatwa fatwanya, tapi akan ada yang benci hingga melawan Ulama maka dengan itu sangat dituntut bahwa para Ulama menyatu dan berhimpun untuk membentuk lembaga sebagai wadah menyiasati dakwah dan mengawal ummat dalam aspek keselamatan Aqidah dan ketaatan kepada Allah SWT. Menuju tanggung jawab itu disamping adanya Lembaga khusus kumpulan Ulama juga muncul Lembaga Sosial Keegamaan. Inilah yang menyiasati sehingga model ketiga adalah  model dakwah yang bersifat luas, yaitu:

3. AMAR MA'RUF

Amar ma'ruf ini adalah suruhan Allah.sesuai firmanNya, dalam Indonesianya :

"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’rūf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran ayat 104). 

Semestinya ma'ruf disini dipahami secara luas. Justru dari pemahaman yang luaslah sehingga para Kiyai, Tuan Guru dan para Ustat, melakukan upaya peningkatan Sumber Daya Manusia secara menyeluruh. Sehingga ada yang mengambil langkah untuk mendirikan lembaga Pendidikan formal, seperti Psatren, Madrasah Diniyah dari Ula ke Ulya hingga Perguruan Tinggi. Termasuk apa yang berkembang seperti dakwah amal usaha yang dilaksanakan oleh NU, Muhammadiyah dsb.


Persoalannya.adalah bahwa lembaga Pendidikan tsb sangat fokus dan terlalu menyeluruh untuk menyiapkan kader Ulama yang hanya dengan modal Ilmu-ilmu Keislaman (agama), sementara Ilmu sains dan bidang skilled, ya teknologi, ekonomi mikro apalagi makro dsb nyaris ditempatkan pada posisi seadanya saja, sehingga menjadi faktor menjadikan  generasinya lemah kreasi dalam menjalani hidup maka jarang muncul sebagai produsen dan mereka disiapkan hingga bertahan pada level konsumer. Dengan itu kemiskinan sering bertolak dari keadaan ini sebab sepanjang hidup menjadi tenaga kerja yang hidup dari gaji atau upah. Inilah salah satu persoalan yang amat krusial bagi generasi muda muslim saat ini dan secara menyeluruh bukan saja di Indonesia, akan tetapi hampir disetiap negeri muslim. 

Kearifan saat ini diharapkan agar diarahkan kepada penyiapan generasi yang dapat didikan untuk siap sebagai produsen, pencipata lapangan kerja, pemberi solusi dan tangannya ada di atas dengan mental yang Islami. Tentu termasuk prangkat pendukungnya termasuk modal secara finansial. Penyakit hari ini yang memang melanda umat hingga kedalam tulang yang paling dalam adalah "mental mengharap pemberian". Lulusan Pendidikan kita tidak lebih dari terendah hingga teratas "Berharap Adanya Lapangan Pekerjaan". Generasi belum terarahkan mental dan skilnya untuk mandiri. 

Contoh konkritnya bahwa Lembaga Pendidikan Kita masih  mencetak Pelamar dari pada Bisa Buka Usaha Sendiri padahal ajaran agama kita bukan begitu....lalu dimana relevansinya?

Bukankah mental seperti ini yang diwariskan sehingga ada banyak lulusan yang munafiq, penjilat, penipu dsb? Jangan jangan kekacauan sehingga munkarot selalu tumbuh sebabnya termasuk ini. Wallohu'alam. Yang pasti MA'RUF ke depannya perlu diarahkan pada  kemandirian dan dukungan finansial. Ma'ruf dan para pengemban dakwah harus berpikir hingga ke arah itu, bisa jadi usaha ke arah ma'ruf yang dilakukan  selama ini sudah kadaluarsa maka perlu pembaharuan sehingga mampu meredam munkarooot.

PENUTUP

Ulama adalah pewaris Nabi Muhammad saw. Ditangan merekalah bertahannya dakwah hingga umat tetap hidup dalam jalan Syariat. Sebagai penyandang status Ulama dalam perspektif Islam fungsi dan tanggung jawab Ulama wanita dan pria tidak dibedakan.  Mereka sama sama Pewaris Nabi dan dipandang sama di hadapan Allah.

Dalam konteks Indonesia bahkan negeri lainpun Ulama itu selalu didominasi kaum Adam. Dan mereka yang berkategori Ulama nyaris disandang oleh para Ulama dengan Agama sebagai basis  ilmunya. Sementara mereka yang menguasai Ilmu Sains tidak atau jarang dianggap Ulama. Padahal urusan Amar Ma'ruf dalam konreks hablumminannas dalam bingkai kesadaran Ilahiyah tidaklah mungkin diemban oleh mereka saja. Sebab peroblematika  keummatan sangat kompleks.

Kita lihat ketika para saintis dilibatkan dalam urusan keummatan utamanya konteks ma'ruf mempersiapkan masa depan generasi muda muslim maka dalam berbagai jenjang pendidikan dan pelatihan para saintislah yang dilibatkan khususnya di sekolah dibawah Ormas Keagamaan. Itu artinya Ilmuan, Akademisi dsb yang punya tanggung jawab keummatan dengan tulus karena Allah dalam menebar Amar Ma'ruf perlu dianggap sebagai Ulama. Sebab saat kini bila hanya ceramah  saja sudah kurang memadai walau sangat penting.

SUMBER

Al-Quranul Karim
Hadits Sohih Muslim Lengkap (Aplikasi Online)

Tanggung Jawab Ulama Menurut Rais Aam PBNU

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/76556/tanggung-jawab-ulama-menurut-rais-aam-pbnu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar