INTEGRASI PENGETAHUAN dan ISLAMISASI
PENDIDIKAN
di SEKOLAH ISLAM TERPADU
Pendahuluan
Usaha
memadukan kembali antara ilmu yang
bersumber dari wahyu dengan alam dan manusia yang saat ini tengah
mengalami puncak keterpilahannya
notabene dimulai abad ke 16 M saat
Copernicus dan Galileo Cs melakukan pembaharuan pemikiran di Eropa (Raghib
As-Sirjani, 2017:182). Dengan situasi genting yang mengharuskan kajian dan
pengembangan sains diputus mata
rantainya dengan agama, kedua jenis pengetahuan ini berpisah dan tumbuh dengan paradigma
masing masing.
Sebagai
akibat dari dikotomi keilmuan ini
mengundang banyak masalah baik pada lingkup sosial kemanusiaan juga dalam aspek
alam-ekosistem. Hal ini terjadi sebagai akibat dari abai terhadap nilai nilai
ketuhanan atau agama dalam proses berilmu pengetahuan-(epistemologi) dan
praktek kehidupan (moralitas-aksiologis). Maka usaha interdisiplin, transdisiplin
dan multidisiplin sebagai jalan
integrasi dan interkoneksi harus dilakukan seperti semangat M. Amin Abdullah hingga menggagasi Integrasi
dan Interkonekasi Ilmu dengan banyak karya baik buku ataupun tulisan di Jurnal.
Dalam
buku terakhirnya yakni Multidisiplin, Interdisiplin dan Trandisiplin, ditemukan
pola atau bentuk Integrasi. Beliau uraikan kepada tiga bentuk, yakni : 1). Bentuk Pengintegrasian kedalam
Kurikulum, 2). Penamaan Mata Kuliah
(kajian-pelajaran) yang menunjukkan hubungan antar dua disiplin ilmu, dan 3). Pengintegrasian terhadap tema-tema
(topik-topik Inti) mata kuliah. Integrasi
yang dilakukan sebenarnya adalah wujud dari gagasan Islamisasi Ilmu yang
diimplementasikan kedalam dunia pendidikan. Ini berawal dari pengembangan
pikiran Naquib Al-Attas seorang pemikir muslim dari Malysia.
Gagasan
di atas cendrung pemikiran bersifat paradigmatic-filosofik walau beberapa sudah
diturunkan kedalam dunia Perguruan Tinggi, namun yang paling nyata dalam
menggelindingkan pikiran untuk kerja Islamisasi Pendidikan dan didalamnya
deilakukan Integrasi Pengetahuan adalah Amanah yang diusung Jaringan Sekolah
Islam Terpadu (JSIT) yang sekolahnya sudah muncul hamper diseluruh wilayah
Indonesia. JSIT Indonesia merupakan
organisasi wadah pembinaan dan pemberdayaan SIT. Berdiri pada 31 Juli 2003 berperan dalam pemberdayaan yang berafiliasi
dalam jaringannya.
Implementasi Islamisasi
Menelaah
Integrasi Ilmu dalam konsep dan rencana yang dilakukan pada lembaga pendidikan
bisa dilakukan dalam bentuk struktur kurikulum dengan pengertian pemaduan mata kajian serta berbagai kegiatan
baik menyangkut aspek kognitip, apektif
maupun psikomotorik. Hal ini harus secara jelas dan nyata dituangkan dalam
bentuk Filosofi atau Paradigma Lembaga
Pendidikan hingga Visi, misi dan tujuan,
sebab inilah yang mengikat pikiran yang akan diterjemahkan kedalam tindakan.
Secara umum dinyatakan bahwa sebagai lembaga pendidikan adanya keinginan yang kuat dan kokoh untuk
mencetak generasi yang memiliki keutuhan keilmuan, sikap dan amaliyah yang
tercermin dalam sikap diri pribadi lulusan yang memiliki jati diri yang mencerminkan
akhlakul karimah, diturunkan kedalam
standar-standar untuk memudahkan dalam tingkat pelaksanaan hingga mengukur mutu.
Layaknya sebagai pendidikan standar- standar ini merujuk pada peraturan menteri
dan di SIT terjadi elaborasi sebagai refleksi otonomi pengelolaan dengan alasan
kepentingan kekhasan atau distingsi. Standar itu adalah :
Standar
Nasional Pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal mengenai sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. SNP berfungsi sebagai
pedoman utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam
rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Delapan standar nasional tersebut terdiri
dari: 1. Standar Isi. 2. Standar Proses. 3. Standar Kompetensi Lulusan. 4. Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan. 5. Standar Sarana dan Prasarana, 6. Standar Pengelolaan. 7.
Standar Pembiayaan. Dan 8. Standar
Penilaian Pendidikan. Sebagai kekhasan tadi di SIT dikenal adanya satandar lain
yaitu : Standar Pendidikan Agama Islam,
Standar Pembinaan Peserta Dididik dan Standar Kerjasama SIT.
Merujuk
pikiran Amin dalam konteks yang praktis, integrasi dapat dilakukan pada tataran
wujud kurikulum dan tema kajian atau integrasi dalam
tataran topic pembelajaran. Sehingga
gagasan integrasi mulai terlihat dalam penamaan mata kajian (mata pelajaran-mata kuliah) dengan
mencerminkan dua dimensi yakni diniyah
dan ilmiyah, dan akan dikunci dalam pemaduan ditingkat tema-topic
serta kegiatan pembelajaran. Tiga aspek sebagai domain pendidikan merujuk
taksonomi Bloom yang sudah sangat
popular serta sudah menjadi pemahaman umum dalam pendidikan mesti terwujud
besamaan yaitu:
Pertama;
Aspek Kognitif, untuk mencapai bidang pemahaman atau penguasaan konsep
pengetahuan, diberikan interkoneksi muatan pengajaran sains, social budaya
(kehidupan nyata) dan pengetahuan keagamaan. Akan tetapi dalam mengelaborasi
kurikulum bisa dibangun serta dikonstruk lebih variatif sesuai keinginan. Pikiran
di atas juga perlu mempertimbangkan problem riil sebagaimana diungkapkan Haidar
Bagir, menyatakan dalam sebuah tulisannya bahwa problem pendidikan bangsa ini
adalah ditingkat Poblema Paradigmatik, jelasnya ia mengungkapkan bahwa :
“Sayangnya, paradigma pendidikan materialistis yang dominan sekarang ini hanya
memperomosikan daya rasional saintifik dan ketrampilan praktis belaka.
Akibatnya anak-anak kita tidak menghargai serta tidak memiliki pengetahuan
tentang realitas yang lebih tinggi, yakni realitas malakut dan ruhani tersebut
di atas, dan cara mencapai pengetahuan tentang keduanya. Dalam kontek mateialistik seperti ini,
pengetahuan hanya dianggap bernilai jika memiliki kegunaan pragmatis
belaka. Akibat atau konsekwensi dari
keadaan ini, menjadikan pendidikan kita untuk mempesiapkan generasi yang pintar
dalam capaian kehidupan bidang keduniaan, sementara hal-hal yang bersifat
kesadaran spiritual dan kepribadian mulia sangat sulit dicapai, menyebabkan
sekularisme mendapat tempat yang subur di negeri ini, (Hiadar Bagir, 2019, hal.
175).
Haidar
Baqir diakhir tulisan beliau, ia tutup dengan statemen sebagai berikut :
“Hendaknya pengajaran ruhaniyah dan akhlak dalam konteks ini mestilah tak
berhenti pada sekedar rutinitas peribadahan dan pengajaran akhlak yang bersifat
kognitif belaka, melainkan didasarkan pada pemahaman makna batiniah dari ajaan
ajaran agama dan akhlak.” Respon
terhadap masalah harus dijawab dengan sistem melingkupi usah mencapai model
yang ingin dicapai sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan. Hal ini harus
dielaborasi pertimbangan capaian tiga ranah tadi dengan interkoneksi materi
keilmuannya. Sehingga secara kognitif hilang gep atau jarak agama dengan
pengetahuan lain, secara metode dan strategi tersahuti usaha atau dapat
menjembatani terbidiknya ketiga ranah tadi.
Kedua, Aspek Apektif. Mestinya masyarakat
berpendidikan harus dapat memperlihatkan dan mencercerminkan iklim social dan nuansa
kehidupan yang aman dan nyaman setiap saat. Akan tetapi sangat terasa bahwa
pergeseran dan erosi akhlak terlihat nyata dan bahkan menjadi sesuatu yang
mengemuka sampai munculnya berbagai jenis penyimpangan. Sangat jelas dan nyata
adanya apa saja yang menjadi harapan dari Haidar Baqir ini bahkan kebutuhan
mendesak bangsa. Apalagi dikaitkan
dengan pogram yang pernah dilontarkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo,
bahwa harus terjadi Revolusi Mental. Bukankah
ini persoalan attitut dan ada pada ranah apektif?. Masalahnya adalah konsepsinya secara nyata belum ada, apalagi
berupa rumusan yang kongkrit. Akan tetapi bila hal itu diapresiasi dengan
kondisi saat ini, usha integrasi dan interkoneksi ilmu diberbagai Perguruan
Tinggi serta usaha cerdas yang dilakukan oleh kelompok Sekolah Islam Terpadu
seperti Jaringan Sekolah Islam Terpadu, maka wujud Revolusi Mental disini cukup kongkrit, yakni,
terwujudnya generasi Rabbaniyah dengan integritas diri yang sesungguhnya sangat
utuh. Yakni diri yang kompoten dalam keilmuan, personal dan profesional.
Konteksnya adalah generasi yang menguasai konsep dan bebagai bidang keilmuan
yang ditopang oleh kekuatan diri, mental dan kepribadian yang utuh, serta
memiliki kecerdasan hidup dan mampu beradaptasi dalam segala situasi dalam perkembangan social dengan jati diri yang
kokoh. Maka sentuhan Imani harus secara
kencang dilakukan mulai dari sistem fikriyah-keilmuannya maupun
zikir-amaliyahnya.
Belum
lagi ketika bicara kehidupan muslim secara luas bahwa: “Kondisi ini dihampir seluruh permukaan bumi
terlihat sebagai akibat kelompok muslim itu sangat akrab dengan: "Kemiskinan , Kemalasan dan Dalam
Tekanan". Kenapa seperti itu?. Bisa jadi akibat kolonisasi. Kejadian
sekitar abad 16. Mulai Mesir, Asia Tenggara, hingga India. Penjajah masuk dari
Barat kenegeri yang dihuni orang Islam.
Bila dibaca dan dianalisis proses hidup negeri jajahan itu, semuanya merasakan
pahit dan sangat getir. Hanya sedikit perbedaan bila Inggris yang menjajah ataupun Prancis, masyarakat jajahan lebih tercerahkan
sehingga banyak muncul ilmuan dikemudian hari dan pendidikan masyarakat juga
lebih baik dan lebih demokratis. Tapi
secara umum indikator tentang kemiskinan, kemalasan dan dalam tekanan penguasa
hampir sama saja. Hanya perbedaannya ada pada aspek aspek pengembangan
pembangunan dan sistem sosial.
Ketiga, Aspek
Psikomotorik. Hari ini kesulitan yang amat terjal adalah melahirkan generasi
yang cerdas berintegritas itu. Pengikut baginda nabi Muhammad sollu 'alaih yang
muncul dengan akhlak kepribadian memukau dengan medan makhnit yang menarik jiwa
masyarakat, kecerdasan yang disibghoh Quraniyah serta penguasaan ilmu
pengetahuan yang menyeluruh, sepertinya sangat jauh dari harapan beliau. Bidang
pengamalan dan akhlak karimah saat ini secara umum rapuh. Walau segelintir
masih tetap bertahan dengan berpegang pada sunnah Rasululloh. Namun seandainya
generasi itu muncul dominan posisi muslim akan mengikuti Rasulullah seperti
beliau dibujuk rayu masyarakat Yasrib untuk datang memimpin sebab sudah sangat
muak dengan selalu cekcok bersimbah darah dan air mata. Karena Al-Amiin sangat
diyakini mampu menjadi perekat. Sosok ini hanya bisa muncul dari lembaga
pendidikan yang baik. Yang pasti inilah generasi yang mesti dibentuk. Walau
tidak persis seperti Rasulullah, tapi mereka diantar untuk berada dijalan hidup
Rasulullah.
Kembali
kepada Integrasi Ilmu, Amin selanjutnya memberi penjelasan untuk mewujudkan metode mengintegrasikan diniyah dengan
sains, ada tiga jalan juga (M. Amin
Abdullah, 2020, hal. 175), yaitu: petama; Semipermeable yakni dengan teknik
saling menembus dalam pengertian bila satu kajian atau satu topic maka ajaran
agama atau wahyu atau hadits memberi landasan dan penjelasan terhadap topic
tersebut dan bisa juga dari ilmu lain dengan memberi; klarifikasi, afirmasi,
korektif, verifikatif, transformative. Hal ini bisa dilakukan pada tingkat
interkoneksi pada topic pembahasan dan memungkinkan bahkan mesti dituliskan
dalam rencana persiapan pembelajaran (RPP, hal ini bisa dilihat pada JSIT).
Kedua;
Intersubjektive
Testability maksudnya, keterujian intersubjektif. Sebab dalam setiap
penelitian khususnya ketika menarik kesimpulan sesungguhnya penarikan
kesimpulan sudah sangat dominan unsur pemahaman dan daya tangkap atau daya
imajinasi si peneliti sehingga sipeneliti akan membahasakannya dengan unsur
subjektifitas, maka disinilah banyak disiplin ilmu sesuai pendekatannya mesti
dilalui paling tidak antara wahyu dengan ilmu yang sedang dikaji atau diteliti.
Artinya semua mesti berkontribusi sehingga khazanahnya luas dan lengkap. Pendekatan
atau cara ini adalah lewat penelitian intedisiplin.
Bisa
diambil contoh, dalam ulasan Agus Mustofa, ulasannya dengan pengalaman penelitian, topic
tulisannya Spiritualitas Yang Saintifik; (Agus Mustofa; 17 Oktober 2020).
Ketiga,
Creatife
Imajinative, dalam cara ketiga ini dibutuhkan kemampuan untuk
menggabungkan antara logika (deduktif dan induktif) dengan daya imajinasi,
intuisi, rasa, ilham dsb, yang dalam khazanah pengetahuan dalam Islam adanya al-ma’unah
al-ilahiyah. Ini hanya dilalui dan diperoleh orang beragama dan yang
terus mengasah aspek zikinya. Ibn ‘Arabi membagi ilmu pengetahuan kepada
tiga klasifikasi. Petama, pengetahuan
intelektual, kedua, pengetahuan eksprensial (yang dirasakan) dan ketiga,
pengetahuan yang gaib (alam yang
dihadirkan Allah kepada manusia lewat kesadaran spiritual yang tinggi. (Haidar
Bagir, 2015, hal. 133).
Bila di dunia Barat dalam penjelasan Amin
seperti dikutipnya dari Koesler dan Ghisedin, bahwa imajinasi kreatif baik
dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam dunia sastra seingkali dikaitkan
dengan upaya untuk memperjumpakan dua konsep framework yang berbeda.
Ia mensintesakan dua hal yang berbeda dan kemudian membentuk keutuhan baru,
menyusun kembali unsur-unsur yang lama kedalam adonan konfigurasi yang fresa,
yang baru.
Bunayya Sebagai Penggerak SIT di
Tabagsel
Sejak
kemunculannya awal decade 1990-an, dibawah Yayasan Bina Ul-Ummah, SIT yang satu
ini sangat konsisten dalam memunculkan lembaga pendidikan alternative yang
mampu melahirkan generasi harapan. Dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak,
Sekolah dasar dan pada tahun 1996 muncul Sekolah Menengah Pertama. Kendati di
awal masih system sewa lokasi, tapi berkat kegigihan dari Yayasan dan para
pejuang pendidikan di lembaga ini, harapan demi harapan mulai menjadi nyata dan
kini sudah memiliki kampus sendiri dengan satu atap.
Secara
tegas bahwa lembaga pendidikan SIT Bunayya memiliki perjungan untuk membentuk
generasi yang cerdas dan berintegritas. Pada lembaga ini adalah khas Islamisasi
dalam arti internalisasi nilai-nilai keislaman dan kepatutan dengan berbagai dimensi
kegitan dengan Standar Pembinaan Peserta Didik dan juga terlihat dalam bentuk
kurikulum formal. Bahwa Integrasi Ilmu berjalan dengan baik melalui proses
pembelajaran di kelas dengan penyiapan para guru yang sudah dibentuk
kompetensinya. Tidak salah bila SIT
Bunayya menjadi pusat pengembangan pendidikan dengan gerakan Islamisasi dan
Integrasi di daerah Tabagsel. Sebab disamping berpotensi juga punya kapasitas.
Pentup
Dalam mengelola
Pendidikan Islam saat ini, disamping mengembangkan tiga ranah; kognitif, apektif dan psikomotorik,
pendekatan keilmuan, penelitian dan metodologi pembelajaran mesti meninggalkan
pola lama yang selalu mengandalkan linieritas
murni (disiplinierisme) dengan kaku bertransfomasi kedalam pendekatan Multidisiplin, Interdisiplin, Transdisiplin.
Bukan saja hal ini mengerdilkan wawasan khususnya di era kontemporer tapi
disamping terjadinya ketertutupan juga pengabaian nilai agama semakin mengancam
kehidupan manusia baik dari degradasi moral juga maraknya ancaman alam akibat
ekosistem yang rusak.
Kembali kepada rel
sebagaimana pinsip yang dibangun dalam Islam, bahwa Tauhid adalah azas yang
menyeluruh termasuk urusan keilmuan sebagaimana tertuang dalam Surah Al-‘Alaq
ayat 1-5. Disamping penting usaha Tauhidisasi makin terasa ketika saat ini
Sains lepas dari kesadaran Ontologis (Filsafat sebagai Induk).
Dalam konteks
pelaksanaannya dilapangan sesungguhnya SIT Bunayya cukup berhasil. Disamping
sudah berjalan lama, sejak awal sangat konsisten dengan keterpaduan dan gerakan
Islamisasi. Dan kedepan tidak salah bila SIT Bunayya melakukan kajian untuk
memunculkan system Boardingschool-berasrama
juga kemungkinan melahirkan peserta didik yang mumpuni dalam penguasaan ilmu
keislaman dengan kekuatan baca sumber teks Arab dan Inggiris. Wallohu’alam
Bissowaf.
Daftar Bacaan
Agus Mustofa;
Dimuat di Harian DisWay, Jum'at, 16 Oktober 2020/Facebook, 17 Oktober 2020,
beliau Alumni Teknik Nuklir UGM, Penulis Buku-Buku Tasawuf Modern, dan Founder
Kajian Islam Futuristik.
Hiadar Bagir, Memulihkan Sekolah Memulihkan
manusia, Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita, Bandung, Mizan,
2019
Haidar Bagir, Semesta
Cinta, Pengantar Kepada Pemikiran Ibn “Arabi, Bandung, Mizan, 2015
M. Amin Abdullah, dalam bukunya; Multidisiplin,
Interdisiplin dan Transdisiplin, Metode Studi
Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer, Yogyakarta, PT. Litera Cahaya Bangsa, 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar