Gaduh sosial dan makin tercabut serta tergerusnya akar budaya kebangsaan nan santun, sejuk, penuh persaudaraan, gotong royong, cinta kasih, saling menghormati, saling mengambil hati, hormat pada yang tua, kompak dengan sebaya dan sayang sama yang muda dst, dst, dst. perlu mendapat perhatian serius oleh semua pihak.
Ada dua kekuatan kunci yang menjadi penyelamat dan tiang pertahanan yang mungkin dapat berperan untuk menahan arus erosi kultural dan keadaban saat ini. Yaitu: para pemimpin (bangsa dan agama), serta guru.
Pertama: Para pemimpin bangsa sudah sangat cerdas memikirkan rakyatnya. Hanya sering kalangan pemimpin yang pada awalnya berasal dari anggota masyarakat biasa tapi setelah menjadi tokoh pemimpin mereka umumnya drastis berubah. Khususnya dalam gaya hidup dan perwatakan. Mereka banyak lupa diri dan terjebak pada gaya slebritas (orang kaya) hingga cendrung hedonisme dengan gelimangan materi yang selalu memoles diri dengan kekuatan uang. Bisa bisa mereka terkooptasi pada iklim baru yang bias dari misi ideal menjadi pengejar yang deras pada pemuasan yang cendrung rendahan dan jauh dari kemuliaan sebagai pemimpin masyarakat yang berketerbatasan.
Padahal pemimpin yang diharap itu bukanlah tipe ini. Tapi mereka yang seharusnya muncul biasa biasa saja dan selalu datang dengan kesederhanaan nan komunikatif, aspiratif dan menjadi teladan dan solutif yang melegakan. Sehingga betul betul mereka membantu dan melindungi.
Sesungguhnya bila mereka sadar bahwa cara jalan dan bicara mereka saja menjadi model bagi banyak orang. Maka perlu pembuktian yang objektif akan hypotesa bahwa ada signifikansi pola hidup pemimpin dengan tergerusnya akar nilai budaya kebangsaan dan nilai luhur masyarakat. Sebab selalu saja muncul rasa ketertekanan sosial kalangan bawah bila mereka para pemimpin datang dengan segala pasilitas dan variasi hidup selebritas dengan kentara. Fenomena ini bisa dijemput dan dipungut di meja meja kedai kopi, diemperan terminal, diteras mesjid, ditangkahan angkot, ojek, dipinggir sungai dan mungkin dikerumunan nan sederhana dari anak bangsa. Disana ada suara yang lama lama terpendam dan nyaris tak terpedulkan. Bahkan tersimpan bak api dalam sekam. Dan waktu yang akan bicara.
Maka pemimpin itu harus turun dan menyederhanakan diri dengan berpakaian yang berkerakyatan serta meninggalkan gaya hedonitas. Mereka harus datang membawa model kesantunan, kesederhanan, dan dengan pakaian yang berkeadaban dan berasesoris nilai nilai luhur. Mereka jangan datang seperti gaya pengusaha padahal mereka adalah penguasa yang diberi rakyat berkuasa. Maka logis bila penguasa menjadi sumber persoalan sementara rakyat adalah korban dari pola dan strategi penguasa itu sendiri.
Kedua adalah guru, mereka ini adalah yang jadi tiruan dan yang diikut.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar