Dichotomy of knowledge has brought about moral degrade. It
IS realized that education is in charge with resulting in low human resources.
A civilization shall be established by restroring the education. Education, as
a system, has several comoponents in which scientificpradigm is an essentialone
of them. Thus. an ideal education shall be designed through integraton of
knowlegewhich can be carried out to the knowledge's philosophy consisting of
ontology. ep~istemologyand axiology.
Islam
Sudah lama dirasakan salah satu
persoalan besar dalam pendidikan menyangkut konsepsi ilmu yaitu terpilahnya
bangunan keilmuan menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Konsekuensi dari
keterpilahan ini, adalah produk pendidikan membentuk dua kelompok ilmuwan,
kelompok saintis dan islamis. Kelompok saintis menjadikan alam sebagai objek
yang dipahami dan melahirkan modernisasi yang tumbuh dalam komunitas ilmuan
barat yang cendrung berbudaya sekuler-liberalis dengan dukungan mobilitas
social yang lahir dari pengembangan teknologi,
sedangkan kelompok islamis melakukan penelitian terhadap wahyu dengan
berbagai ragam metodologi dan penafsiran. menyebabkan wacana keagamaan dan
berbagai teori pemahaman mengedepan.
Munculnya pemahaman yang beragam terhadap teks-teks
keagamaan merupakan keniscayaan, karena esensi dan studi keagamaan adalah agar
teks keagamaan (al-Quran dan al-Sunnah) bisa dipahami secara akurat dan tidak
dianggap sesuatu yang sacral. Hal inilah
yang diungkapkan Fazlur Rahman bahwa pada episode masuknya dunia lsIam dalam
situasi jumud, studi lsIam berubah menjadi tradisi sakral. Akibamya, sumber teks Islam gagal
dipahami secara outentik.[1]
Usaha untuk keluar dari kemelut tersebut, saat ini
studi agama dikembangkan dan telah menjadi trend serta cukup pesat
perkembangannya baik Timur maupun di belahan dunia Barat.
Begitu juga dengan kelompok saintifik berhasil pesat
mengembangkan sains, persoalannya adalah sudah
proporsionalkah peranan sains dan teknologi mengangkat citra kemanusiaan
dilihat dari aspek aksiologisnya?.
Bila dilihat dari awal munculnya, sain yang
berkembang di dunia Barat mulanya mereka peroleh dari dunia Islam. Akan tetapi
pada awal era modern (abad ke-17) seperti dikemukakan Hossein Nasr, filsafat
mulai berubah pelan-pelan dan akhimya memisahkan diri dari agama dan mengembangkan
pemikiran untuk menggantikan agama.[2]
Dalam konteks yang sama. Nasr juga menjelaskan bahwa
keterpisahan saintis dengan nilai Islam berdasarkan pada pemahaman bahwa dunia
alamiah sebagai realitas dianggap terpisah dari Allah. Sedangkan Islam memahami
ilmu berdasarkan pada keesaan (kesatuan) Allah.[3]
Dengan formulasi ontologi yang demikian. saintis
mendapat posisi puncak dengan munculnya revolusi keilmuan yang digerakkan oleh
pemikir seperti; Galileo, Kepler, Newton, Deskart, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan
polarisasi sains dan ilmu agama semakin nyata. Karena dipicu pula oleh
kelemahan dunia Islam mengembangkan sains dan teknologi.
Semangat revolusi tersebut menggelinding dan meretas
sebuah zaman baru saat ini yang populer disebut dengan kehidupan high tech daIam
istilah John Naisbitt, Cs yaitu zona
mabuk teknologi, suatu zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit
dan seringkali bertentangan antara teknologi dan pencarian kita akan makna.[4]
Dalam konteks pendidikan. ini artinya proses pengembangan
ilmu dan penerapannya dalam bentuk teknologi teIah didominasi oleh dorongan
hedonistik yang sama sekali kurang memperhatikan makna atau penghayatan
terhadap esensi hidup, dengan
konsekuensi pudarnya nilai humanitas serta terkooptasiya peradaban manusia
dengan sifat produk teknologi. Keadaan inilah yang akhirnya mengundang berbagai
krisis ekologi, social, dan berbagai stagnasi nilai kemanusiaan.
Berbagai fenomena di atas merupakan puncak sebagai
akibat lepasnya pengembangan ilmu dan teknologi dari pertimbangan nilai
spiritual dan humanitas. Dalam pemyataan yang lebih eksplisit, merupakan ekses
dikotomi sain dan keislaman. Ahmad Tafsir menjelaskan pengetahuan yang
terdikotomi berbahaya diajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu
berlawanan dan lantas kita ajarkan maka ada dua bahayanya. Pertama, pasti salah satu yang salah, berarti kita pasti
mengajarkan pengetahuan yang salah. Kedua. pelajar yang memperoleh pengetahuan
seperti itu akan terbelah kepribadiannya.[5]
Diskursus tentang ilmu bersifat obyektif, netral, dan
universal merupakan kajian yang melahirkan polarisasi pemahaman. Karena terjadi
perbedaan pandang tentang yang dimaksukkan dengan "realitas". Barat
memahami realitas, yakni sesuatu yang emperis, sedangkan Islam menjawab bentuknya
dapat fisik dan dapat metafisik.[6]
Pandangan ini berpengaruh terhadap epistemologinya.
sehingga Barat memandang ilmu hanya sebatas wilayah pengalaman manusia.[7]
Tentunya pandangan Islam tidak demikian dan pasti memiliki pandangan tersendiri
sejalan dengan pandangan ontologisnya.
Jalan yang
dirintis untuk mewujudkan integrasi dua keilmuan yang terbelah khusunya lingkup
Indonesia suadah dilakukan. Secara kajian konsep Amin Abduollah[8].....mamamam
Beranjak dari sinilah tulisan dikedepankan dengan keyakinan bahwa tauhid (kesatupaduan) ilmu dapat menjadi dasar membangun paradigma keilmuan yang utuh dan sangat penting diimpelementasikan pada dunia pendidikan dalam rangka melahirkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang integral karena dunia pendidikan dianggap paling strategis untuk menjadi blue print peradaban. Kajian ini akan menggunakan pendekatan berfikir dengan asumsi filosofis, yakni melihat tauhid ilmu dalam perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Tauhid Ilmu
Secara sederhana syahadat tauhid dengan kalimat inti
diartikan sebagai penyaksian tentang keesaan Allah. Pernyataan yang cukup
singkat tapi punya makna yang sangat mendalam. Bahkan keseluruhan dimensi
pendidikan termuat dalam kalimat pendek
ini yang termanipestasi dalam krangka keilmuan dan performan.
Pemahaman tauhid secara komprehensif sudah digagas
oleh Ismail Raji aI-Faruqi, dan menyederhanakannya dalam pemahaman tauhid
amaliah yang dilihat pada tatanan pemikiran dan kehidupan.[9]
Sementara implikasinya terhadap ilmu. pendidikan. dan dimensi kehidupan
lainnnya hanya tinggal memperhatikan dan mengembangkan saja.
Secara harfiah tauhid berasal dari kata wahid'
merupakan isim fail (pelaku) dari “wahada”. Menurut istilah agama Islam, tauhid mempunyai
pengertian keyakinan tentang keesaan Tuhan dan segala pikiran dan teori berikut
dalil-dalilnya yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu esa.[10]
Keharusan
untuk mempertegas makna tauhid ini didorong oleh adanya pemahaman keagamaan yang keliru bahwa
tauhid hanya terbatas dalam dimensi kepercayaan. Padahal bila sebatas percaya
saja, belumlah disebut beriman, Allah berfirman: "Jika engkau (Muhammad)
bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? pasti mereka
menjawab: Allah",[11]
Kendati mereka sudah percaya mereka tidak disebut kelompok beriman ataupun
bertauhid, mereka digolongkan orang-orang musyrik (menyekutukan Allah) dengan
alasan percaya kepada Allah tidak serta merta membebaskan manusia dari
kemungkinan percaya kepada objek-objek sembahan lain. Kesadaran bertauhid
mencakup semua aspek kehidupan.[12]
Memahami
tauhid harus berangkat dari kata dasar tadi yaitu pengesaan, kesatuan, atau
penyatuan, tergantung kepada aspek apa kesatuan itu diletakkan. Bila
dihubungkan pada zat-Nya, zat Allah itu esa, satu atau tunggal, begitu juga
sifat dan af’al-Nya tetap esa atau satu kesatuan yang utuh. Makna
harfiah ini sangat penting untuk diketahui. Begitupun konsepesi keesaan tuhan
bukan hanya sekedar ikatan keyakinan,
tapi keterlibatan suatu prinsip tindakan
yang memberi inspirasi kepada seluruh aspek kehidupan manusia"[13].
Artinya seorang mukmin tidak hanya percaya kepada
Tuhan dalam tatanan keyakinan, namun juga dituntut agar keyakinan itu
tennanipestasi pada tatanan historikal manusia, menyangkut pendidikan, ekonomi,
social, budaya, politik, iImu. Dan teknologi. DaIam konteks inilah tauhid
bermakna sebagai fondasi daIam kehidupan dengan segala dimensinya.
Berdasarkan ini, maka
tauhid itu menegaskan tentang keesaan penciptaan (unity of creation. wahdat
al-khaliq al-mudabbir), kesatuan kemanusiaan (unity of man kind, wahdat
al-insaniah), kesatuan tuntunan hidup (unity of quidence, wahdat masdar
al-hayat),dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life.wahdat
al-nihayat al-hayat), yang kesemuanya itu merupakan derivasi kesatuan
ketuhanan (unity of gothead. Wahdaniyah).[14]
Pandangan inilah pijakan yang utuh dan kokoh bila
ditarik kepada wilayah realitas manusia sebab manusia dalam perspektif tauhid
akan menjadi: pertama, mempunyai
komitmen yang utuh untuk mengabdi kepada Tuhan. Kedua, memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Ketiga, memiliki tujuan hidup yang
jelas. Keempat, menolak pedoman hidup
di luar ketentuan Tuhan.
Dalam konteks pendidikan, tauhid menjadi paradigma
daIam menyusun strategi dan langkah merumuskan tujuan, isi, metode, evaluasi,
identitas, dan tata aturan. Dalam kaitan isi pendidikan yakni ilmu pengetahuan
yang hendak ditransfer kepada peserta didik, maka tauhid akan menjadi dasar
dalam mendudukkan nilai filosofis ilmu. menyangkut ontology, epistemologi dan
aksiologi ilmu dimaksud.
Pandangan tentang ontologi tauhid ilmu ini didasarkan
pada: pertama, firman Allah: Dialah
Allah, tiada Tuhan selain Dia, mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.[15]Seperti dikutip oleh Hendra Riyadi, Ibnu 'Arabi
menjelaskan bahwa tauhid dalam al-Qur'an itu cukup banyak jumlahnya, hampir
mencapai 36 macam dan di antaranya adalah tauhid ilmu[16]
dan ia melandaskan pemahamannya terhadap surat al-hasyr) di atas. Kedua, para ulama kalam membagi tauhid kepada empat bagian. Yaitu :
tawhid fi al-zat wa al-sifat, tawhid fi al-afal, tawhid fi al wilayah, dan
tawahid fi al ibadah.[17]Pemahaman
seperti ini dapat diimplementasikan kepada tiga wilayah kehidupan yakni:
sekitar unsur teologis, kosmologis, dan antropo-sosiologis. Artinya tauhid
merupakan perinsip dalam memandang bahwa Tuhan dipercayai sebagai memiliki
keesaan zat, keesaan sifat, dan keesaan perbuatan. Dengan demikian Allah yang
menciptakan makhluk apabila ditarik pada wilayah alam semesta. maka berarti,
kesatuan penciptaan alam. bila ditarik pada wilayah penciptaan manusia, maka
berarti kesatuan penciptaan manusia. Sehingga. "segala makhluk tunduk pada
sistem penciptaan itu dan harus mengikuti maksud-maksud dan tujuan dan
penciptaan dalam irama dan dinamika antara sunnatullah dan syari'at Allah"[18].
Atas dasar ini
tauhid ilmu merupakan pengembangan dari konsepsi keesaan Allah, merupakan
kesatuan hubungan di antara sifat-sifat Tuhan yang banyak. Oleh karena ilmu
demikian banyak sebagai manifestasi pengetahuan dan afal Allah, maka
ilmu manusia merupakan satu kesatuan
karena bersumber dari Allah.[19]
Dari gambaran di atas jelas dipahami
bahwa Tuhan adalah sebagai sumber ilmu. AI-Qur’an sebagai kalam Allah menjadi
objek ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan alam dan isinya sebagai afal Allah
menjadi objek ilmu-ilmu temuan (sain).
Epistemologi Tauhid IImu
Bagi setiap manusia beriman, tauhid tentunya akan
terimplementasi pada sikap keberislaman secara sempurna dan lurus, seperti
terungkap dalam berbagai penegasan Allah, seperti hidup dengan menetap di
jalan-Nya[20]dan
hidupnya benar-benar menjadi pengabdi tulus terhadap Tuhannya.[21]
sehingga kesedaran terhadap seluruh aktivitas digantungkan dan ditujukan hanya
untuk mencari keridaan-Nya[22]
bahkan terpatri dan menyatu dengan nadi kehidupan. Maka pemahaman terhadap
aktivitas keilmuan akan muncul sebagai manifestasi pengabdian dan aktualisasi
kekhalifaan[23],
sekaligus jalan untuk mendekat kepada Khaliq lewat pemahaman terhadap ayat-ayat
ilahi[24]
terwujud adanya.
Dengan demikian kegiatan keilmuan yang berkaitan
dengan mempelajari, meneliti, menemukan teori, prinsip, dan landasan keilmuan
akan tetap disinari nur ilahi. Bagi setiap peneliti dan pencari ilmu, seluruh
kegiatan keilmuan dilaksanakan dengan
didasari niat tulus karena Allah.[25]
Paradigma ini merupakan penegasan terhadap hakikat pengetahuan yakni
"paduan antara "tasawwur dan tasyddiq. Tasawwur dengan
berbagai macamnya, tidak memiliki nilai obyektif, karena ia merupakan kehadiran
sesuatu dalam fakultas-fakultas intelektif kita. Namun kehadiran dan kesadaran
terhadap sesuatu akan terbukti kualitas dan esensinya melalui ungkapan tasydiqi
dengan sifat realitas obyektif. Sehingga akan sampai kepada sebuah
pemahaman bahwa ada sesuatu kekuatan yang dapat digali pada diri manusia secara
internal dan cahaya kebenaran yang perlu dicermati dan disiasati eksistensinya
(secara eksternal) dan inilah ide
pembentuk mental.[26]
Teori ini semakin terbukti dengan berbagai temuan
pada dunia psikologi bahkan neurobiologi, mereka telah mengungkapkan bahwa pada
otak manusia terdapat lobus temporal, sebuah tempat penyamaian
pengalaman spritual yakni "titik Tuhan” (god spot) atau "modul Tuhan
(God module)[27].
Kemampuan yang dimilikinya menyangkut dengan hal-hal yang bersifat spiritual.
Dalam term al-Qur'an disebut basyiroh yakni merupakan potensi yang dapat
menemukan telaga kesadaran dan lebih tegas diungkapkan daIam firman-Nya:
"Bahkan manusia itu mampu melihat diri sendiri."[28].
Dalam pemikiran Ibn Qayyim aI-Jauzi basyirah adalah cahaya yang
ditiupkan Allah ke dalam qalb oleh karena itu ia mampu memandang hakekat
kebenaran seperti pandangan mata.[29]
Dalam konteks epistemologi tauhid ilmu dalam
perspektif ini berpadu dengan fenomena do’a Ibrahim tatkala ia diamanahi
menjadi pemimpin di akhir hidupnya ia meminta kepada Tuhan jika pada suatu hari
ketika ia tidak sanggup untuk memimpin agar Allah tetap mengutus para pemimpin
dengan kepribadian yang memiliki tiga kategori yakni : tilawah, ta’lim dan
tazkiyah.[30]
Tilawat berkaitan dengan bagaimana cara
melihat. membaca dan menyikapi ayat-ayat Allah baik berkaitan dengan ayat
kauniah maupun ayat kauliyah. Upaya ini sangat terkait dengan kualitas proses ta’lim
atau metodologi penelitian/pengkajian, bahwa dua sumber yakni kitabullah
(wahyu) dan sunnatullah (alam) sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dan upaya pemisahan antara keduanya merupakan kecelakaan epistemologis dan
berdampak buruk sampai pada level historitas. Maka keutuhan dan kesatuan
keduanya merupakan implementasi kesadaran tauhid. Pemahaman ini merupakan jalan
strategis sebagaimana difirmankan Allah yakni “yang telah mengajari manusia
melalui pena”.[31] Proses
kesadaran ini akan memunculkan ilmuwan
dan pemimpin yang memiliki kesucian diri atau tazkiyah. sebagai paduan
pemahaman dan kesadaran terhadap ilmu dan niIai.
DaIam perspektif epistemologi tauhid ilmu diyakini
bahwa asal ilmu tidak dibedakan antara agama (keislaman) dengan umum (sain),
keduanya dari Allah. Sedangkan kenyataan dikotomi secara hirarkis, hanya da1am
tahap penggalian, ia bergeser kepada objek yang berbeda yakni wahyu dan alam,
namun antara satu dan lainya saling menopang dan bersifat interdependen, sebab
kenyataannya sain pasti membutuhkan wahyu dan sebaliknya pula pendalaman wahyu
membutuhkan media sain.
Begitupun
dalam konteks kehidupan kekinian, Noeng Muhadjir pernah melontarkan ide bahwa
untuk mengantisipasi berbagai krisis saat ini kata beliau; harus mampu memaknai
nas (Al-Qur'an dan Al-Hadis) khusus dalam kepentingan penelitian dan
pengembangan pengetahuan. Dengan ketentuan pemaknaan itu jangan diberangkatkan
dari niat melega1kan yang kita inginkan. atau diberangkatkan dari pengetahuan
kita yang naif. Melainkan diberangkatkan dari niat mentauhidkan A1lah dan
mencari rida-Nya. lImu yang Islami baik agama maupun umum perlu diberangkatkan
dari tiga pilar agama.
yaitu: iman, akhlak, dan syari'at yang disistematisasikan
koheren. [32]Inilah
prototype ulul al-bab yakni manusia ideal yang senantiasa optimal
menggunakan fikirnya terhadap ciptaan Allah dan zikir terhadap eksistensi-Nya.[33]
Dengan makna Ilmu diyakini datang dari Allah menda1aminya juga punya aturan
lewat ajaran agama-Nya dan kegunaannya juga untuk jalan rido-Nya. Amin Abdullah
menegaskan: agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (daruriyat ,benar-
salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyyat, baik, buruk) tujuan-tujuan
ilmu (tahsiniyyat, manfaat, merugikan) dan dimensi aksiologi dalam
teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi sebelum manusia keluar
mengembangkan ilmu.[34] Inilah hakekat epistemologi tauhid ilmu.
Akslologi Tauhid IImu
Pemikiran yang dikedepankan di atas, menjadi pijakan
dalam memahami aksiologi tauhid ilmu maka dapat dikonfigurasikan nilai ilmu adalah :
1. Terwujudnya
integralitas antara ilmu pengetahuan yang berkembang untuk dimanfaatkan bagi
kesejahteraan hidup manusia.
2. Dunia kemanusiaan
terkondisi sesuai fitrah dan misi penciptaan
3. Munculnya filsafat ilmu dengan paradigma tauhid dan
buku-buku daras atau ajar yang dilandasi oleh nas (Al-Qur'an dan Hadits), dan
pada suatu saat akan muncul para lulusan yang aktivitas keilmuannya semata-mata
untuk mencapai rida-Nya. sehingga arogansi dan egoisme ilmuwan seperti saat ini
tidak terjadi. dan kerusakan ekologi serta sosial tidak bertambah parah dan
akan muncul gelombang kehidupan baru yang lebih humanitis.
Tauhid Ilmu dalam Pendidikan
Secara umum pendidikan dipahami sebagai ikhtiar untuk
menyiapkan peserta didik melalui berbagai proses agar mereka cerdas dan dapat
berperan selayaknya. Dalam perspektif tauhid pendidikan mampu menjadi satu
infrastruktur dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan utuh
yakni manusia paripuma sebagai wujud keutuhan dan ketaqwaannya. Chalene E.
Westate. seperti dikutip Muhammad Surya. [35]menyebutkan
kondisi seperti itu sebagai "spritual wellness' dengan empat
dimensi:1.Meaning of life 2. lntrinsik value. 3. Transcendent.
4. Community of shared values and Support. Dengan pengertian mereka
yang memiliki kesadaran spritual tinggi dengan kemampuan mewujudkan dirinya
secara bermakna dalam berbagai dimensi kehidupan, memiliki kesadaran nilai
intrinsik yang muncul dari kesadaran spritual untuk menjadi panduan berbuat,
mempunyai kemampuan atau kecerdasan transendent yang memiliki hubungan
kemasyarakatan yang diikat oleh nilai luhur.
Dalam konteks proses pendidikan, tauhid dapat menjadi
landasan fundamental dan sekaligus merupakan dasar paradigmatik untuk membangun
sistem fikrah yang holistik dalam mewujudkan sistem pendidikan. mulai dari
perumusan tujuan, muatan materi dan mekanisme. Demikian
juga dengan tauhid ilmu karena konteks kesatuan ilmiah di sini dalam dimensi
ilmu maka kaitannya lebih banyak dalam muatan atau isi pendidikan yang dalam
istilah lain bahan yang akan diinterna1isasi dan ditransfer.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana
mewujudkan muatan pendidikan yang IsImi (berdasarkan tauhid) di tengah fenomena
dikotomik saat ini. Noeng Muhadjir mengetengahkan pendekatan dalam mewujudkan
ilmu yang Islami (ilmu yang koheren dengan nas) dengan tiga model pengembangan.
Kendati demikaan Muhadjir menegaskan bahwa model ini bukan berarti membongkar
semua disiplin ilmu dan membangun dari awal yang baru. hanya melalui orientasi
kepada nilai-nilai Islam sesuai dengan jenis disiplin ilmu yang dimaksud.
Model-model pengembangan tasebut adalah
:
Pertama model postulasi.[36]
Bangunan pokok model ini adaIah deduktif. Bertolak dari aksioma, postulat.
hukum nash atau kontruksi teoritik holistic membangun keseluruhan sistematika
disipIin ilmu itu. Model ini akan lemah konstruksinya bila postulatnya
dirumuskan atau dibangun secara apriori atau spekulatif dan akan kuat bila
dibangun lewat penelitian emperik atau lewat proses pikir reflektif. Bahkan
daIam mernbangun sistem pendidikan Islam dapat di1akukan dengan bertolak dari
sejumlah asumsi, postulat, atau teoritisasi tertentu. Contohnya, mora1itas
pendidikan Islami mencakup pemaknaan kita tentang tujuan amar ma’ruf nahi
munkar, teori fitrah, a
good active dari subjek didik, dan fungsi amanah bagi tugas pendidik.
Noeng Muhadjir juga menegaskan bahwa untuk membangun
system pendidibn Islam sangat tergantung pada kejernihan akal budi karena
dengan a1at itu manusia mampu menangkap
makna integral dari moralitas al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Ia meIihat ada
dua pamahaman yang perlu disadari para ilmuwan yaitu pemaknaan substantif serta
instrumentatif dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil. Inilah
prosedur pengembangan ilmu yang proporsional lewat refleksi nash terhadap
telaah ilmu. Konsekuensinya dalam setiap disiplin ilmu seyogianya telah tertata
terlebih dahulu aksiomatika atau postu1asinya sehingga da1am penjabaran bahkan
da1am pemaparan teori-teori tetap koheren dengan prinsip nilai yang dibangun
sebelumnya. Bahkan dalam buku-buku daraspun hal ini sudah se1ayaknya muncu1
sebagai manifestasi kesadaran terhadap tauhid ilmu dengan ciri aksioma,
postulat dan atau nas menjadi premis mayor dalam rumusan konklusi (teori-teori
ilmu).
Kedua adalah model pengembangan multi dan
interdisipliner.[37] Maksud
dengan kerja multidisiplin adalah cara bekerjanya seseorang ahli pada sesuatu
disiplin. Ia berupaya membangun disiplinnya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli
disiplin lain. Maknanya ada1ah perlu pakar pakar seluruh disiplin ilmu duduk
bersama dan mengembangkan diskursus, saling koreksi dan isi mengisi sehingga
muncu1 teori-teori baru yang lebih konstruktif.
Dalam memuluskan kerja mentauhidkan ilmu, maka
pemahaman dan penguasaan terhadap ilmu agama atau paling tidak otoritas ilmuwan
agama (pakar teologi) sangat penting. Dan termasuk mereka yang bergerak dalam
ilmu-ilmu sekuler harus lapang dada menerima koreksian yang bersifat radikal
dari ahli agama, sebab akan terjadi reorientasi dan reintegrasi epistemologi
keilmuan. Begitu juga kalangan ahli agama, mestinya mereka lebih tekun dalam
upaya memberi landasan moral Islam bagi pengembangan sains. Mereka harus lapang
dada untuk mengadakan proyek-proyek penelitian dan pengukuran terhadap peran tahsiniyat
sains sekuler selama ini. Agama tidak sekedar sasaran telaah ilmu-ilmu
keislaman dalam rangka desakralisasi wahyu dan pembedahan tekstual yang
menjurus pada partikularistik agama yang benuansa verbalistik, akan tetapi
mengaktualisasi dalam konteks menyejarahkan agama dalam dimensi personalitas
(pikiran, kepribadian dan jalan hidup), dimensi kulturalitas dan dimensi ultimet
(kembali pada ajaran)[38]
suatu kemestian dalam kurun kekinian.
Aplikasi dari proyek ini, diharapkan diferensiasi
(pengkotakan yang sempit) ilmu me1alui desakralisasi (membumikan), dan
deprivatisasi (pengukuhan) agama akan dapat memuncu1kan rekonstruksi keilmuan
yang bersifat integral yang tidak hanya dalam wacana dan diskursus teoritikal
akan tetapi dimunculkan dalam bentuk bahan-bahan bacaan sebagai rujukan yang
akan dikonsumsi para pencari pengetahuan dalam segala tingkatan.
Model ketiga adalah : reflektif-konseptual-tentatif-problematik.[39]
Model ini hampir sama dengan model pertama. hanya bila model postu1asi
berangkat dari aksioma, postu1at, hukum dan nash sebagai payung da1am
rekonstruksi dan pengembangan teori-ilmu dan pendekatannya lewat hitungan jenis
disiplin ilmu. Lain halnya pada model ketiga ini, pergerakan tetap berangkat
dari sistematika ilmu yang berkembang, namun bagian-bagian yang mengandung
perob1em dikonsultasikan dan dikembangkan dengan mengikuti ketentuan nash.
Pembahasan di atas sesungguhnya banyak terkait dengan
epistemology ilmu. Oleh karena ilmu sebagai salah satu komponen dalam
pendidikan. Maka sesungguhnya ja1an menuju operasionalisasi pendidikan,
rekonstruksi atau upaya pengintegrasian kembali ilmu agama dan umum merupakan
kebutuhan mendesak. Hal itu terlihat langsung pada salah satu kcmponen dalam
kurikuIum serta upaya mengorganisasi seluruh kegiatan, sehingga berbagai
komponen yang ada pada lingkup harus
pula sinergis dan senapas dengan prinsip tauhid ilmu.
S. Nasution menje1askan bahwa ada empat komponen
dasar kurikulum, yakni: 1. komponen tujuan. 2. komponen isi/bahan diantaranya
iImu. 3. komponen metode atau proses belajar mengajar dan 4. komponen penilaian
atau evaluasi.[40]
Dalam kepentingan terlaksananya proses pendidikan
berlandaskan tauhid ilmu, keempat komponen ini harus terintegrasi
prinsip-prinsip tauhid. Pada komponen tujuan, mulai dari tujuan umum,
institusi, kurikuler dan pembelajaran harus mencerminkan upaya mentauhidkan
Allah, target-target yang dirumuskan mestinya memenuhi kebutuhan dimensi-dimensi
diri peserta didik, mulai dari fisik, psikis. sosial dan 1ain-lain yang
dibingkai oleh tujuan luhur yakni ingin mengabdikan diri kepada Allah dalam
artian men-tauhidkan Allah dengan segala aspeknya. Ma ka pemaheman dan pengenalan yang akurat
tentang manusia dalam perspektif al-Quran merupakan salah satu pijakan dalam
merumuskan tujuan pendidikan.
Sementara komponen isi (ilmu sebagai materi
pendidikan) seperti te1ah disinggung sebelumnya, metode atau proses belajar
sangat menentukan da1am keberhasilan pendidikan. Isi atau meteri pendidikan
dapat tercapai bi1a proses dan metode yang digunakan re1evan dengan tujuan.
Bahkan cara atau teknik yang digunakan dapat membantu peserta didik dalam
mengubah diri menempati posisi atau situasi ideal yang ditentukan.
Begitu juga metode; metode yang terbaik harus menjadi
pilihan, karena metode merupakan salah satu bagian yang dapat menjembatani
tumbuh dan berkembangnya potensi atau dimensi diri peserta didik. Dalam konteks
tauhid, manusia adalah makhluk yang dibekali dengan potensi-potensi Ilahiah,
yakni fitrah[41] dengan
berbagai elemen dan kesatuan penciptaan yang utuh. Maka seyogianya metode
tersebut menjadi perangsang munculnya kemampuan dan kecerdasan yang integral
pada diri peserta didik. Metode belajar modem dengan sasaran pencerdasan
inteligensi dan ketrampilan perlu dibarengi dengan upaya pencerdasan spiritual
melalui studi qissah, amsal, keteladanan dan sebagamya.
Tidak berbeda dengan metode, evaluasi sangat
strategis dalam meningkatkan proses pendidikan, sebab hakekat evaluasi adalah
usaha pengukuran terhadap hal-hal yang telah dilaksanakan. Maka evaluasi harus
memiliki nuansa kesatuan dalam mengukur berbagai potensi yang diberdayakan
sehingga sinergis dalam merekrut akurasi pemahaman tentang pertumbuhan dan peningkatan
yang terjadi pada diri peserta didik.
Dalam upaya mewujudkan integrasi nafas tauhid ilmu ke
dalam proses pendidikan, maka perkembangan kurikulum dengan segala dimensinya,
perlu digodok oleh pakar-pakar lewat interdisipliner bahkan tenaga pengajar
serta segenap penyelenggara harus tcrlibat dalam sebuah kancah pemahaman atau
wawasan dengan sifat substansi ideal. Pada dasamya hal ini dikarenakan oleh
guru sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan bahkan merekalah yang akan
mengorganisir transfer pengetahuan, kepribadian, dan kinerja peserta didik.
Berkaitan ini para pekerja administrative juga punya andil cukup besar dalam
rangka mewujudkan situasi dan warna proses pendidikan. Keseluruhan dimensi
terkait, haruslah terlebih dahulu memiliki landasan tauhid yang mantap. Oleh
karena itu kerja awal yang patut dilaksanakan dalam proyek ini adalah
sosialisasi pemahaman yang benar tentang tauhid dan termasuk gagasan tauhid
ilmu kepada seluruh aspek yang terlibat dalam terlaksananya proses pendidikan.
Penutup
Dari rangkaian pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa paradigma pendidikan Islam perlu dikembalikan kepada dasar tauhid, sebab
salah satu persoalan besar yang sangat krusial adalah dikotomi ilmu. Upaya yang
dapat ditempuh dalam menyatukan ilmu harus berangkat dari pemahaman yang benar
terhadap tauhid serta implementasinya dalam pengembangan ilmu serta dibarengi
pula dengan integrasi nilai syaraiat dan akhlak dalam merumuskan teori
keilmuan.
Rekonstruksi bangunan keilmuan ini merupakan
kebutuhan mendesak dalam membangun peradaban baru sekaligus menyelamatkan
manusia dari degradasi humanitas.
Dalam menyikapi kecendrungan ini, yang paling strategis adalah pembenahan dunia
pendidikan, sebab lewat lingkungan inilah berbagai pengkajian dan penelitian dapat
dilakukan. Universitas misalnya, dengan tri dharmanya memungkinkan sekali
berperan secara inovatif-konstruktif, sebagai pusat keterpujian, kajian
epistemologis keilmuan dan keabsahan berpikir pada tempatnyalah disini
dilakukan. Kehadiran UIN di Indonesia memungkinkan menjadi cikal bakal
perkampungan ilmiah dengan paradigma tauhid ilmu. Bila tidak siapa dan yang
mana lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin,
Reintegrasi epistemology keilmuan umum dan agama, dalam Jurnal Perta,
Vol. 5 No. 1 Januari 2002, hlm. 48-52
Buraikan, Ibrahim
Muhammad ibn Abdullah, Pengantar Studi Aqidah Islam, diterjemahkan oleh
Muhammad Anis Matta, Jakarta: Litbang Pusat Studi Islam al-Manar, tth.
Faruqi, Ismail Razy, Tauhid,
Bandung: Pustaka, 1988.
Hidayat, Komaruddin. "Ketika agama
menyejarah", dalam Jumal Perta, Vol. 4 No. 02 Pebruari 2001, him.
35-4l.
HS. Mastuki. ''Tauhid
sebagai paradigma pendidikan Islam (sebuah bagan filosofis)", dalam Jumal
Madania, Volume 2 Nomor 2 April 1999, hlm. 4-16.
Ibn 'Arabi. Al-Futuhat
Al-Makkiyat, Beirut: Dar Sadr, tth. Juz II.
Jauzi, Ibn Qayyim, Madarij
al-Salikin, Beirut: Dar al-Kutub aI-'llmiyah, 1988, Juz I.
Muhadjir, Noeng, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin. 1992.
_______________, "Integrasi Tauhid Dalam Sistem
Pendidikan NasionaI", Kamrani Buseri, dkk. (ed) Substansi Pendidikan
Islam Kajian Teoritis dan Antisipatip Abad
21, Banjarrnasin: IAlN Antasari, 1977,
hlm. 42-55.
Naisbit, John, dkk. Pencarian
Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi,
Bandung: Pustaka Mizan, 2001.
Nasr, Seyyed Hossein, Menjelajah
Dunia Modern, Bandung: Penerbit Mizan. 1994.
Nasution. S, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi
Aksara. 1995.
Qutub, Muhammad, la
ilaha illallah, Sebagai Aqidah Syariah dan Sistem Kehidupan, diterjemah
oleh Syafril HaIim, Jakarta: Robbani Press. 1996.
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1986.
Rahmat, Jalaluddin,
"Dari Tuhid Ibadah kepada Tauhid
ummah, Makalah Seminar NasionaI Tauhid Sosial yang dilaksankan
oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 28 April 1995.
Rais, M. Amin, Cakrawala
Islam antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1989.
Salam, Burhanuddin. Logika
Materil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakara: Rineka Cipta, 1996.
Sadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna, . Bandung:
Penerbit Mizan, 1993.
Surya, Muhammad,
“Integrasi Tauhid I1mu dalam Sistem Pendidikan Nasional", dalam Hendar
Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan
Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.
Tafsir, Ahmad, “Asumsi Filosofis Tauhid dan Pembaruan Sistem
Pendidikan", dalam Hendar Riyadi (ed.) Tauhid ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung:
Penerbit Nuansa, 2000.
Zohar, Danah dan Ian
Marshall, SQ: Spiritual
Intligence-The Ultimate Inteligence, terjemahan Rahmani Astuti Bandung:
Penerbit Mizan, 2001.
[4]John Naisbit dkk. Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Tekhnologi, (Bandung: Pustaka Mizan.2001). him. 46.
[5]Ahmad Tafsir. "Asumsi Filosofis Tauhid clan Pembaruan sistem Pendidikan". Dalam Hendar Riyadi (ed.) Taunid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Bandung: Penerbit Nuansa. 2000). hlm. 66.
[6]Sayed Hossein Nasr, Op. at., hlm. 144.
[7]Burhanuddin Salam. Logika Materil FIisafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, RinekaCipta, 1996). hlm. 105
[8]
[9] Ismail Razy AI-Faruqi. Tauhid, (Bandung. Pustaka. 1988). hlm. 45.
[11]Al-Qur'an surat aI-Zumar/39 :38.
[14]M. Amin Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, (Bandung, Mizan, 1989), hlm. 18.
[15]AI-Qur'an surat al-Hasyr 59: 22.
[17]Jalaluddin Rahmat. "Dari tauhid ibadah kepada tauhid ummah". Maka1ah Seminar Nasional Tauhid Sosial dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammacliyah Yogyakarta tanggal 28 Apn11995.
[18]AI-Qur'an surat al-A'raf: 154: Hud;15: 61.
[21]Al-Qur' an surat aI-Zariyat 54: 56.
[25]AI-Qur'an surat al-Alaq 96: 1.
[26]~uh~ Baqir ~. FlJislJflJtun.!(.Bandung: Penerbit Mizan,
[27] . : 21>Potensi atZlu kenwnpuan ini Mia pada setiap orang, Danah Zohar dan
[32] 31 Noeng Muhadjir. "Integrasi Tauhid dalam Sistem Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar