Artikel Lama


IMPLEMENTASI TAUHID ILMU
DALAM PENDIDIKAN
(Telaah dengan Pendekatan Asumsi Filosofis)
Oleh : IrwanSaleh Dalimunthe.
(DosenJurusan Tarblyah STAINPadangsidimpuan)
 

Abstract

Dichotomy of knowledge has brought about moral degrade. It IS realized that education is in charge with resulting in low human resources. A civilization shall be established by restroring the education. Education, as a system, has several comoponents in which scientificpradigm is an essentialone of them. Thus. an ideal education shall be designed through integraton of knowlegewhich can be carried out to the knowledge's philosophy consisting of ontology. ep~istemologyand axiology.

 Kata kunci : Implementasi tauhid. taluhid ilmu, pendidikan 

     Islam

 Pendahuluan

Sudah lama dirasakan salah satu persoalan besar dalam pendidikan menyangkut konsepsi ilmu yaitu terpilahnya bangunan keilmuan menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Konsekuensi dari keterpilahan ini, adalah produk pendidikan membentuk dua kelompok ilmuwan, kelompok saintis dan islamis. Kelompok saintis menjadikan alam sebagai objek yang dipahami dan melahirkan modernisasi yang tumbuh dalam komunitas ilmuan barat yang cendrung berbudaya sekuler-liberalis dengan dukungan mobilitas social yang lahir dari pengembangan teknologi,  sedangkan kelompok islamis melakukan penelitian terhadap wahyu dengan berbagai ragam metodologi dan penafsiran. menyebabkan wacana keagamaan dan berbagai teori pemahaman mengedepan.

Munculnya pemahaman yang beragam terhadap teks-teks keagamaan merupakan keniscayaan, karena esensi dan studi keagamaan adalah agar teks keagamaan (al-Quran dan al-Sunnah) bisa dipahami secara akurat dan tidak dianggap  sesuatu yang sacral. Hal inilah yang diungkapkan Fazlur Rahman bahwa pada episode masuknya dunia lsIam dalam situasi jumud, studi lsIam berubah menjadi tradisi sakral. Akibamya, sumber teks Islam gagal dipahami secara outentik.[1]

Usaha untuk keluar dari kemelut tersebut, saat ini studi agama dikembangkan dan telah menjadi trend serta cukup pesat perkembangannya baik Timur maupun di belahan dunia Barat.

Begitu juga dengan kelompok saintifik berhasil pesat mengembangkan sains, persoalannya adalah sudah  proporsionalkah peranan sains dan teknologi mengangkat citra kemanusiaan dilihat dari aspek aksiologisnya?.

Bila dilihat dari awal munculnya, sain yang berkembang di dunia Barat mulanya mereka peroleh dari dunia Islam. Akan tetapi pada awal era modern (abad ke-17) seperti dikemukakan Hossein Nasr, filsafat mulai berubah pelan-pelan dan akhimya memisahkan diri dari agama dan mengembangkan pemikiran untuk menggantikan agama.[2]

Dalam konteks yang sama. Nasr juga menjelaskan bahwa keterpisahan saintis dengan nilai Islam berdasarkan pada pemahaman bahwa dunia alamiah sebagai realitas dianggap terpisah dari Allah. Sedangkan Islam memahami ilmu berdasarkan pada keesaan (kesatuan) Allah.[3]

Dengan formulasi ontologi yang demikian. saintis mendapat posisi puncak dengan munculnya revolusi keilmuan yang digerakkan oleh pemikir seperti; Galileo, Kepler, Newton, Deskart, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan polarisasi sains dan ilmu agama semakin nyata. Karena dipicu pula oleh kelemahan dunia Islam mengembangkan sains dan teknologi.

Semangat revolusi tersebut menggelinding dan meretas sebuah zaman baru saat ini yang populer disebut dengan kehidupan high tech daIam istilah John Naisbitt, Cs yaitu  zona mabuk teknologi, suatu zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit dan seringkali bertentangan antara teknologi dan pencarian kita akan makna.[4]

Dalam konteks pendidikan. ini artinya proses pengembangan ilmu dan penerapannya dalam bentuk teknologi teIah didominasi oleh dorongan hedonistik yang sama sekali kurang memperhatikan makna atau penghayatan terhadap esensi hidup, dengan konsekuensi pudarnya nilai humanitas serta terkooptasiya peradaban manusia dengan sifat produk teknologi. Keadaan inilah yang akhirnya mengundang berbagai krisis ekologi, social, dan berbagai stagnasi nilai kemanusiaan.

Berbagai fenomena di atas merupakan puncak sebagai akibat lepasnya pengembangan ilmu dan teknologi dari pertimbangan nilai spiritual dan humanitas. Dalam pemyataan yang lebih eksplisit, merupakan ekses dikotomi sain dan keislaman. Ahmad Tafsir menjelaskan pengetahuan yang terdikotomi berbahaya diajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomi itu berlawanan dan lantas kita ajarkan maka ada dua bahayanya. Pertama, pasti salah satu yang salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah. Kedua. pelajar yang memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiannya.[5]

Diskursus tentang ilmu bersifat obyektif, netral, dan universal merupakan kajian yang melahirkan polarisasi pemahaman. Karena terjadi perbedaan pandang tentang yang dimaksukkan dengan "realitas". Barat memahami realitas, yakni sesuatu yang emperis, sedangkan Islam menjawab bentuknya dapat fisik dan dapat metafisik.[6]

Pandangan ini berpengaruh terhadap epistemologinya. sehingga Barat memandang ilmu hanya sebatas wilayah pengalaman manusia.[7] Tentunya pandangan Islam tidak demikian dan pasti memiliki pandangan tersendiri sejalan dengan pandangan ontologisnya.

Jalan yang dirintis untuk mewujudkan integrasi dua keilmuan yang terbelah khusunya lingkup Indonesia suadah dilakukan. Secara kajian konsep Amin Abduollah[8].....mamamam

Beranjak dari sinilah tulisan  dikedepankan dengan keyakinan bahwa tauhid (kesatupaduan) ilmu dapat menjadi dasar membangun paradigma keilmuan yang utuh dan sangat penting diimpelementasikan pada dunia pendidikan dalam rangka melahirkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang integral karena dunia pendidikan dianggap paling strategis untuk menjadi blue print peradaban. Kajian ini akan menggunakan pendekatan berfikir dengan asumsi filosofis, yakni melihat tauhid ilmu dalam perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Tauhid Ilmu

Secara sederhana syahadat tauhid dengan kalimat inti diartikan sebagai penyaksian tentang keesaan Allah. Pernyataan yang cukup singkat tapi punya makna yang sangat mendalam. Bahkan keseluruhan dimensi pendidikan  termuat dalam kalimat pendek ini yang termanipestasi dalam krangka keilmuan dan performan.

Pemahaman tauhid secara komprehensif sudah digagas oleh Ismail Raji aI-Faruqi, dan menyederhanakannya dalam pemahaman tauhid amaliah yang dilihat pada tatanan pemikiran dan kehidupan.[9] Sementara implikasinya terhadap ilmu. pendidikan. dan dimensi kehidupan lainnnya hanya tinggal memperhatikan dan mengembangkan saja.

Secara harfiah tauhid berasal dari kata wahid' merupakan isim fail (pelaku) dari “wahada”.  Menurut istilah agama Islam, tauhid mempunyai pengertian keyakinan tentang keesaan Tuhan dan segala pikiran dan teori berikut dalil-dalilnya yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu esa.[10]

 Keharusan untuk mempertegas makna tauhid ini didorong oleh  adanya pemahaman keagamaan yang keliru bahwa tauhid hanya terbatas dalam dimensi kepercayaan. Padahal bila sebatas percaya saja, belumlah disebut beriman, Allah berfirman: "Jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? pasti mereka menjawab: Allah",[11] Kendati mereka sudah percaya mereka tidak disebut kelompok beriman ataupun bertauhid, mereka digolongkan orang-orang musyrik (menyekutukan Allah) dengan alasan percaya kepada Allah tidak serta merta membebaskan manusia dari kemungkinan percaya kepada objek-objek sembahan lain. Kesadaran bertauhid mencakup semua aspek kehidupan.[12]

 Memahami tauhid harus berangkat dari kata dasar tadi yaitu pengesaan, kesatuan, atau penyatuan, tergantung kepada aspek apa kesatuan itu diletakkan. Bila dihubungkan pada zat-Nya, zat Allah itu esa, satu atau tunggal, begitu juga sifat dan af’al-Nya tetap esa atau satu kesatuan yang utuh. Makna harfiah ini sangat penting untuk diketahui. Begitupun konsepesi keesaan tuhan bukan hanya sekedar  ikatan keyakinan, tapi  keterlibatan suatu prinsip tindakan yang memberi inspirasi kepada seluruh aspek kehidupan manusia"[13].

Artinya seorang mukmin tidak hanya percaya kepada Tuhan dalam tatanan keyakinan, namun juga dituntut agar keyakinan itu tennanipestasi pada tatanan historikal manusia, menyangkut pendidikan, ekonomi, social, budaya, politik, iImu. Dan teknologi. DaIam konteks inilah tauhid bermakna sebagai fondasi daIam kehidupan dengan segala dimensinya.

Berdasarkan ini, maka tauhid itu menegaskan tentang keesaan penciptaan (unity of creation. wahdat al-khaliq al-mudabbir), kesatuan kemanusiaan (unity of man kind, wahdat al-insaniah), kesatuan tuntunan hidup (unity of quidence, wahdat masdar al-hayat),dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life.wahdat al-nihayat al-hayat), yang kesemuanya itu merupakan derivasi kesatuan ketuhanan (unity of gothead. Wahdaniyah).[14]

Pandangan inilah pijakan yang utuh dan kokoh bila ditarik kepada wilayah realitas manusia sebab manusia dalam perspektif tauhid akan menjadi: pertama, mempunyai komitmen yang utuh untuk mengabdi kepada Tuhan. Kedua, memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Ketiga, memiliki tujuan hidup yang jelas. Keempat, menolak pedoman hidup di luar ketentuan Tuhan.

Dalam konteks pendidikan, tauhid menjadi paradigma daIam menyusun strategi dan langkah merumuskan tujuan, isi, metode, evaluasi, identitas, dan tata aturan. Dalam kaitan isi pendidikan yakni ilmu pengetahuan yang hendak ditransfer kepada peserta didik, maka tauhid akan menjadi dasar dalam mendudukkan nilai filosofis ilmu. menyangkut ontology, epistemologi dan aksiologi ilmu dimaksud.

 Ontologi Tauhid IImu

Pandangan tentang ontologi tauhid ilmu ini didasarkan pada: pertama, firman Allah: Dialah Allah, tiada Tuhan selain Dia, mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.[15]Seperti  dikutip oleh Hendra Riyadi, Ibnu 'Arabi menjelaskan bahwa tauhid dalam al-Qur'an itu cukup banyak jumlahnya, hampir mencapai 36 macam dan di antaranya adalah tauhid ilmu[16] dan ia melandaskan pemahamannya terhadap surat al-hasyr) di atas. Kedua, para ulama kalam membagi tauhid kepada empat bagian. Yaitu : tawhid fi al-zat wa al-sifat, tawhid fi al-afal, tawhid fi al wilayah, dan tawahid fi al ibadah.[17]Pemahaman seperti ini dapat diimplementasikan kepada tiga wilayah kehidupan yakni: sekitar unsur teologis, kosmologis, dan antropo-sosiologis. Artinya tauhid merupakan perinsip dalam memandang bahwa Tuhan dipercayai sebagai memiliki keesaan zat, keesaan sifat, dan keesaan perbuatan. Dengan demikian Allah yang menciptakan makhluk apabila ditarik pada wilayah alam semesta. maka berarti, kesatuan penciptaan alam. bila ditarik pada wilayah penciptaan manusia, maka berarti kesatuan penciptaan manusia. Sehingga. "segala makhluk tunduk pada sistem penciptaan itu dan harus mengikuti maksud-maksud dan tujuan dan penciptaan dalam irama dan dinamika antara sunnatullah dan syari'at Allah"[18].

 Atas dasar ini tauhid ilmu merupakan pengembangan dari konsepsi keesaan Allah, merupakan kesatuan hubungan di antara sifat-sifat Tuhan yang banyak. Oleh karena ilmu demikian banyak sebagai manifestasi pengetahuan dan afal Allah, maka ilmu manusia merupakan satu kesatuan  karena bersumber dari  Allah.[19]

Dari gambaran di atas jelas dipahami bahwa Tuhan adalah sebagai sumber ilmu. AI-Qur’an sebagai kalam Allah menjadi objek ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan alam dan isinya sebagai afal Allah menjadi objek ilmu-ilmu temuan (sain).

 

Epistemologi Tauhid IImu

Bagi setiap manusia beriman, tauhid tentunya akan terimplementasi pada sikap keberislaman secara sempurna dan lurus, seperti terungkap dalam berbagai penegasan Allah, seperti hidup dengan menetap di jalan-Nya[20]dan hidupnya benar-benar menjadi pengabdi tulus terhadap Tuhannya.[21] sehingga kesedaran terhadap seluruh aktivitas digantungkan dan ditujukan hanya untuk mencari keridaan-Nya[22] bahkan terpatri dan menyatu dengan nadi kehidupan. Maka pemahaman terhadap aktivitas keilmuan akan muncul sebagai manifestasi pengabdian dan aktualisasi kekhalifaan[23], sekaligus jalan untuk mendekat kepada Khaliq lewat pemahaman terhadap ayat-ayat ilahi[24] terwujud adanya.

Dengan demikian kegiatan keilmuan yang berkaitan dengan mempelajari, meneliti, menemukan teori, prinsip, dan landasan keilmuan akan tetap disinari nur ilahi. Bagi setiap peneliti dan pencari ilmu, seluruh kegiatan keilmuan  dilaksanakan dengan didasari niat tulus karena Allah.[25] Paradigma ini merupakan penegasan terhadap hakikat pengetahuan yakni "paduan antara "tasawwur dan tasyddiq. Tasawwur dengan berbagai macamnya, tidak memiliki nilai obyektif, karena ia merupakan kehadiran sesuatu dalam fakultas-fakultas intelektif kita. Namun kehadiran dan kesadaran terhadap sesuatu akan terbukti kualitas dan esensinya melalui ungkapan tasydiqi dengan sifat realitas obyektif. Sehingga akan sampai kepada sebuah pemahaman bahwa ada sesuatu kekuatan yang dapat digali pada diri manusia secara internal dan cahaya kebenaran yang perlu dicermati dan disiasati eksistensinya (secara eksternal)  dan inilah ide pembentuk mental.[26]

Teori ini semakin terbukti dengan berbagai temuan pada dunia psikologi bahkan neurobiologi, mereka telah mengungkapkan bahwa pada otak manusia terdapat lobus temporal, sebuah tempat penyamaian pengalaman spritual yakni "titik Tuhan” (god spot) atau "modul Tuhan (God module)[27]. Kemampuan yang dimilikinya menyangkut dengan hal-hal yang bersifat spiritual. Dalam term al-Qur'an disebut basyiroh yakni merupakan potensi yang dapat menemukan telaga kesadaran dan lebih tegas diungkapkan daIam firman-Nya: "Bahkan manusia itu mampu melihat diri sendiri."[28]. Dalam pemikiran Ibn Qayyim aI-Jauzi basyirah adalah cahaya yang ditiupkan Allah ke dalam qalb oleh karena itu ia mampu memandang hakekat kebenaran seperti pandangan mata.[29]

Dalam konteks epistemologi tauhid ilmu dalam perspektif ini berpadu dengan fenomena do’a Ibrahim tatkala ia diamanahi menjadi pemimpin di akhir hidupnya ia meminta kepada Tuhan jika pada suatu hari ketika ia tidak sanggup untuk memimpin agar Allah tetap mengutus para pemimpin dengan kepribadian yang memiliki tiga kategori yakni : tilawah, ta’lim dan tazkiyah.[30]

Tilawat berkaitan dengan bagaimana cara melihat. membaca dan menyikapi ayat-ayat Allah baik berkaitan dengan ayat kauniah maupun ayat kauliyah. Upaya ini sangat terkait dengan kualitas proses ta’lim atau metodologi penelitian/pengkajian, bahwa dua sumber yakni kitabullah (wahyu) dan sunnatullah (alam) sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dan upaya pemisahan antara keduanya merupakan kecelakaan epistemologis dan berdampak buruk sampai pada level historitas. Maka keutuhan dan kesatuan keduanya merupakan implementasi kesadaran tauhid. Pemahaman ini merupakan jalan strategis sebagaimana difirmankan Allah yakni “yang telah mengajari manusia melalui pena”.[31] Proses kesadaran ini akan memunculkan  ilmuwan dan pemimpin yang memiliki kesucian diri atau tazkiyah. sebagai paduan pemahaman dan kesadaran terhadap ilmu dan niIai.

DaIam perspektif epistemologi tauhid ilmu diyakini bahwa asal ilmu tidak dibedakan antara agama (keislaman) dengan umum (sain), keduanya dari Allah. Sedangkan kenyataan dikotomi secara hirarkis, hanya da1am tahap penggalian, ia bergeser kepada objek yang berbeda yakni wahyu dan alam, namun antara satu dan lainya saling menopang dan bersifat interdependen, sebab kenyataannya sain pasti membutuhkan wahyu dan sebaliknya pula pendalaman wahyu membutuhkan media sain.

 Begitupun dalam konteks kehidupan kekinian, Noeng Muhadjir pernah melontarkan ide bahwa untuk mengantisipasi berbagai krisis saat ini kata beliau; harus mampu memaknai nas (Al-Qur'an dan Al-Hadis) khusus dalam kepentingan penelitian dan pengembangan pengetahuan. Dengan ketentuan pemaknaan itu jangan diberangkatkan dari niat melega1kan yang kita inginkan. atau diberangkatkan dari pengetahuan kita yang naif. Melainkan diberangkatkan dari niat mentauhidkan A1lah dan mencari rida-Nya. lImu yang Islami baik agama maupun umum perlu diberangkatkan dari tiga pilar agama.

yaitu: iman, akhlak, dan syari'at yang disistematisasikan koheren. [32]Inilah prototype ulul al-bab yakni manusia ideal yang senantiasa optimal menggunakan fikirnya terhadap ciptaan Allah dan zikir terhadap eksistensi-Nya.[33] Dengan makna Ilmu diyakini datang dari Allah menda1aminya juga punya aturan lewat ajaran agama-Nya dan kegunaannya juga untuk jalan rido-Nya. Amin Abdullah menegaskan: agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (daruriyat ,benar- salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyyat, baik, buruk) tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyyat, manfaat, merugikan) dan dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu.[34]  Inilah hakekat epistemologi tauhid ilmu.

Akslologi Tauhid IImu

Pemikiran yang dikedepankan di atas, menjadi pijakan dalam memahami aksiologi tauhid ilmu maka dapat dikonfigurasikan  nilai ilmu adalah :

1. Terwujudnya integralitas antara ilmu pengetahuan yang berkembang untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia.

2. Dunia kemanusiaan terkondisi sesuai fitrah dan misi penciptaan

3. Munculnya filsafat ilmu dengan paradigma tauhid dan buku-buku daras atau ajar yang dilandasi oleh nas (Al-Qur'an dan Hadits), dan pada suatu saat akan muncul para lulusan yang aktivitas keilmuannya semata-mata untuk mencapai rida-Nya. sehingga arogansi dan egoisme ilmuwan seperti saat ini tidak terjadi. dan kerusakan ekologi serta sosial tidak bertambah parah dan akan muncul gelombang kehidupan baru yang lebih humanitis.

Tauhid Ilmu dalam Pendidikan

Secara umum pendidikan dipahami sebagai ikhtiar untuk menyiapkan peserta didik melalui berbagai proses agar mereka cerdas dan dapat berperan selayaknya. Dalam perspektif tauhid pendidikan mampu menjadi satu infrastruktur dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan utuh yakni manusia paripuma sebagai wujud keutuhan dan ketaqwaannya. Chalene E. Westate. seperti dikutip Muhammad Surya. [35]menyebutkan kondisi seperti itu sebagai "spritual wellness' dengan empat dimensi:1.Meaning of life 2. lntrinsik value.                        3. Transcendent. 4. Community of shared values and Support. Dengan pengertian mereka yang memiliki kesadaran spritual tinggi dengan kemampuan mewujudkan dirinya secara bermakna dalam berbagai dimensi kehidupan, memiliki kesadaran nilai intrinsik yang muncul dari kesadaran spritual untuk menjadi panduan berbuat, mempunyai kemampuan atau kecerdasan transendent yang memiliki hubungan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai luhur.

Dalam konteks proses pendidikan, tauhid dapat menjadi landasan fundamental dan sekaligus merupakan dasar paradigmatik untuk membangun sistem fikrah yang holistik dalam mewujudkan sistem pendidikan. mulai dari

perumusan tujuan, muatan materi dan mekanisme. Demikian juga dengan tauhid ilmu karena konteks kesatuan ilmiah di sini dalam dimensi ilmu maka kaitannya lebih banyak dalam muatan atau isi pendidikan yang dalam istilah lain bahan yang akan diinterna1isasi dan ditransfer.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan muatan pendidikan yang IsImi (berdasarkan tauhid) di tengah fenomena dikotomik saat ini. Noeng Muhadjir mengetengahkan pendekatan dalam mewujudkan ilmu yang Islami (ilmu yang koheren dengan nas) dengan tiga model pengembangan. Kendati demikaan Muhadjir menegaskan bahwa model ini bukan berarti membongkar semua disiplin ilmu dan membangun dari awal yang baru. hanya melalui orientasi kepada nilai-nilai Islam sesuai dengan jenis disiplin ilmu yang dimaksud. Model-model pengembangan  tasebut adalah :

Pertama model postulasi.[36] Bangunan pokok model ini adaIah deduktif. Bertolak dari aksioma, postulat. hukum nash atau kontruksi teoritik holistic membangun keseluruhan sistematika disipIin ilmu itu. Model ini akan lemah konstruksinya bila postulatnya dirumuskan atau dibangun secara apriori atau spekulatif dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian emperik atau lewat proses pikir reflektif. Bahkan daIam mernbangun sistem pendidikan Islam dapat di1akukan dengan bertolak dari sejumlah asumsi, postulat, atau teoritisasi tertentu. Contohnya, mora1itas pendidikan Islami mencakup pemaknaan kita tentang tujuan amar ma’ruf nahi munkar, teori fitrah,         a good active dari subjek didik, dan fungsi amanah bagi tugas pendidik.

Noeng Muhadjir juga menegaskan bahwa untuk membangun system pendidibn Islam sangat tergantung pada kejernihan akal budi karena dengan a1at itu manusia mampu menangkap  makna integral dari moralitas al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Ia meIihat ada dua pamahaman yang perlu disadari para ilmuwan yaitu pemaknaan substantif serta instrumentatif dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil. Inilah prosedur pengembangan ilmu yang proporsional lewat refleksi nash terhadap telaah ilmu. Konsekuensinya dalam setiap disiplin ilmu seyogianya telah tertata terlebih dahulu aksiomatika atau postu1asinya sehingga da1am penjabaran bahkan da1am pemaparan teori-teori tetap koheren dengan prinsip nilai yang dibangun sebelumnya. Bahkan dalam buku-buku daraspun hal ini sudah se1ayaknya muncu1 sebagai manifestasi kesadaran terhadap tauhid ilmu dengan ciri aksioma, postulat dan atau nas menjadi premis mayor dalam rumusan konklusi (teori-teori ilmu).

Kedua adalah model pengembangan multi dan interdisipliner.[37] Maksud dengan kerja multidisiplin adalah cara bekerjanya seseorang ahli pada sesuatu disiplin. Ia berupaya membangun disiplinnya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lain. Maknanya ada1ah perlu pakar pakar seluruh disiplin ilmu duduk bersama dan mengembangkan diskursus, saling koreksi dan isi mengisi sehingga muncu1 teori-teori baru yang lebih konstruktif.

Dalam memuluskan kerja mentauhidkan ilmu, maka pemahaman dan penguasaan terhadap ilmu agama atau paling tidak otoritas ilmuwan agama (pakar teologi) sangat penting. Dan termasuk mereka yang bergerak dalam ilmu-ilmu sekuler harus lapang dada menerima koreksian yang bersifat radikal dari ahli agama, sebab akan terjadi reorientasi dan reintegrasi epistemologi keilmuan. Begitu juga kalangan ahli agama, mestinya mereka lebih tekun dalam upaya memberi landasan moral Islam bagi pengembangan sains. Mereka harus lapang dada untuk mengadakan proyek-proyek penelitian dan pengukuran terhadap peran tahsiniyat sains sekuler selama ini. Agama tidak sekedar sasaran telaah ilmu-ilmu keislaman dalam rangka desakralisasi wahyu dan pembedahan tekstual yang menjurus pada partikularistik agama yang benuansa verbalistik, akan tetapi mengaktualisasi dalam konteks menyejarahkan agama dalam dimensi personalitas (pikiran, kepribadian dan jalan hidup), dimensi kulturalitas dan dimensi ultimet (kembali pada ajaran)[38] suatu kemestian dalam kurun kekinian.

Aplikasi dari proyek ini, diharapkan diferensiasi (pengkotakan yang sempit) ilmu me1alui desakralisasi (membumikan), dan deprivatisasi (pengukuhan) agama akan dapat memuncu1kan rekonstruksi keilmuan yang bersifat integral yang tidak hanya dalam wacana dan diskursus teoritikal akan tetapi dimunculkan dalam bentuk bahan-bahan bacaan sebagai rujukan yang akan dikonsumsi para pencari pengetahuan dalam segala tingkatan.

Model ketiga adalah : reflektif-konseptual-tentatif-problematik.[39] Model ini hampir sama dengan model pertama. hanya bila model postu1asi berangkat dari aksioma, postu1at, hukum dan nash sebagai payung da1am rekonstruksi dan pengembangan teori-ilmu dan pendekatannya lewat hitungan jenis disiplin ilmu. Lain halnya pada model ketiga ini, pergerakan tetap berangkat dari sistematika ilmu yang berkembang, namun bagian-bagian yang mengandung perob1em dikonsultasikan dan dikembangkan dengan   mengikuti ketentuan nash.

Pembahasan di atas sesungguhnya banyak terkait dengan epistemology ilmu. Oleh karena ilmu sebagai salah satu komponen dalam pendidikan. Maka sesungguhnya ja1an menuju operasionalisasi pendidikan, rekonstruksi atau upaya pengintegrasian kembali ilmu agama dan umum merupakan kebutuhan mendesak. Hal itu terlihat langsung pada salah satu kcmponen dalam kurikuIum serta upaya mengorganisasi seluruh kegiatan, sehingga berbagai komponen yang ada pada lingkup  harus pula sinergis dan senapas dengan prinsip tauhid ilmu.

S. Nasution menje1askan bahwa ada empat komponen dasar kurikulum, yakni: 1. komponen tujuan. 2. komponen isi/bahan diantaranya iImu. 3. komponen metode atau proses belajar mengajar dan 4. komponen penilaian atau evaluasi.[40]

Dalam kepentingan terlaksananya proses pendidikan berlandaskan tauhid ilmu, keempat komponen ini harus terintegrasi prinsip-prinsip tauhid. Pada komponen tujuan, mulai dari tujuan umum, institusi, kurikuler dan pembelajaran harus mencerminkan upaya mentauhidkan Allah, target-target yang dirumuskan mestinya memenuhi kebutuhan dimensi-dimensi diri peserta didik, mulai dari fisik, psikis. sosial dan 1ain-lain yang dibingkai oleh tujuan luhur yakni ingin mengabdikan diri kepada Allah dalam artian men-tauhidkan Allah dengan segala aspeknya.  Ma ka pemaheman dan pengenalan yang akurat tentang manusia dalam perspektif al-Quran merupakan salah satu pijakan dalam merumuskan tujuan pendidikan.

Sementara komponen isi (ilmu sebagai materi pendidikan) seperti te1ah disinggung sebelumnya, metode atau proses belajar sangat menentukan da1am keberhasilan pendidikan. Isi atau meteri pendidikan dapat tercapai bi1a proses dan metode yang digunakan re1evan dengan tujuan. Bahkan cara atau teknik yang digunakan dapat membantu peserta didik dalam mengubah diri menempati posisi atau situasi ideal yang ditentukan.

Begitu juga metode; metode yang terbaik harus menjadi pilihan, karena metode merupakan salah satu bagian yang dapat menjembatani tumbuh dan berkembangnya potensi atau dimensi diri peserta didik. Dalam konteks tauhid, manusia adalah makhluk yang dibekali dengan potensi-potensi Ilahiah, yakni fitrah[41] dengan berbagai elemen dan kesatuan penciptaan yang utuh. Maka seyogianya metode tersebut menjadi perangsang munculnya kemampuan dan kecerdasan yang integral pada diri peserta didik. Metode belajar modem dengan sasaran pencerdasan inteligensi dan ketrampilan perlu dibarengi dengan upaya pencerdasan spiritual melalui studi qissah, amsal, keteladanan dan sebagamya.

Tidak berbeda dengan metode, evaluasi sangat strategis dalam meningkatkan proses pendidikan, sebab hakekat evaluasi adalah usaha pengukuran terhadap hal-hal yang telah dilaksanakan. Maka evaluasi harus memiliki nuansa kesatuan dalam mengukur berbagai potensi yang diberdayakan sehingga sinergis dalam merekrut akurasi pemahaman tentang pertumbuhan dan peningkatan yang terjadi pada diri peserta didik.

Dalam upaya mewujudkan integrasi nafas tauhid ilmu ke dalam proses pendidikan, maka perkembangan kurikulum dengan segala dimensinya, perlu digodok oleh pakar-pakar lewat interdisipliner bahkan tenaga pengajar serta segenap penyelenggara harus tcrlibat dalam sebuah kancah pemahaman atau wawasan dengan sifat substansi ideal. Pada dasamya hal ini dikarenakan oleh guru sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan bahkan merekalah yang akan mengorganisir transfer pengetahuan, kepribadian, dan kinerja peserta didik. Berkaitan ini para pekerja administrative juga punya andil cukup besar dalam rangka mewujudkan situasi dan warna proses pendidikan. Keseluruhan dimensi terkait, haruslah terlebih dahulu memiliki landasan tauhid yang mantap. Oleh karena itu kerja awal yang patut dilaksanakan dalam proyek ini adalah sosialisasi pemahaman yang benar tentang tauhid dan termasuk gagasan tauhid ilmu kepada seluruh aspek yang terlibat dalam terlaksananya proses pendidikan.

Penutup

Dari rangkaian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan Islam perlu dikembalikan kepada dasar tauhid, sebab salah satu persoalan besar yang sangat krusial adalah dikotomi ilmu. Upaya yang dapat ditempuh dalam menyatukan ilmu harus berangkat dari pemahaman yang benar terhadap tauhid serta implementasinya dalam pengembangan ilmu serta dibarengi pula dengan integrasi nilai syaraiat dan akhlak dalam merumuskan teori keilmuan.

Rekonstruksi bangunan keilmuan ini merupakan kebutuhan mendesak dalam membangun peradaban baru sekaligus menyelamatkan manusia dari degradasi humanitas.

Dalam menyikapi kecendrungan ini,  yang paling strategis adalah pembenahan dunia pendidikan, sebab lewat lingkungan inilah berbagai pengkajian dan penelitian dapat dilakukan. Universitas misalnya, dengan tri dharmanya memungkinkan sekali berperan secara inovatif-konstruktif, sebagai pusat keterpujian, kajian epistemologis keilmuan dan keabsahan berpikir pada tempatnyalah disini dilakukan. Kehadiran UIN di Indonesia memungkinkan menjadi cikal bakal perkampungan ilmiah dengan paradigma tauhid ilmu. Bila tidak siapa dan yang mana lagi.


DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, M. Amin, Reintegrasi epistemology keilmuan umum dan agama, dalam Jurnal Perta, Vol. 5 No. 1 Januari 2002, hlm. 48-52

Buraikan, Ibrahim Muhammad ibn Abdullah, Pengantar Studi Aqidah Islam, diterjemahkan oleh Muhammad Anis Matta, Jakarta: Litbang Pusat Studi Islam al-Manar, tth.

Faruqi, Ismail Razy, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1988.

 Hidayat, Komaruddin. "Ketika agama menyejarah", dalam Jumal Perta, Vol. 4 No. 02 Pebruari 2001, him. 35-4l.

HS. Mastuki. ''Tauhid sebagai paradigma pendidikan Islam (sebuah bagan filosofis)", dalam Jumal Madania, Volume 2 Nomor 2 April 1999, hlm. 4-16.

Ibn 'Arabi. Al-Futuhat Al-Makkiyat, Beirut: Dar Sadr, tth. Juz II.

Jauzi, Ibn Qayyim, Madarij al-Salikin, Beirut: Dar al-Kutub aI-'llmiyah, 1988, Juz I.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin. 1992.

_______________, "Integrasi Tauhid Dalam Sistem Pendidikan NasionaI", Kamrani Buseri, dkk. (ed) Substansi Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Antisipatip Abad

       21, Banjarrnasin: IAlN Antasari, 1977, hlm. 42-55.

Naisbit, John, dkk. Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi,   Bandung: Pustaka Mizan, 2001.

Nasr, Seyyed Hossein, Menjelajah Dunia Modern, Bandung: Penerbit Mizan. 1994.

Nasution. S, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara. 1995.

Qutub, Muhammad, la ilaha illallah, Sebagai Aqidah Syariah dan Sistem Kehidupan, diterjemah oleh Syafril HaIim, Jakarta: Robbani Press. 1996.

Rahman, Fazlur, Islam,  Bandung: Pustaka, 1986.

Rahmat, Jalaluddin, "Dari Tuhid Ibadah kepada Tauhid  ummah, Makalah Seminar NasionaI Tauhid Sosial yang dilaksankan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 28 April 1995.

Rais, M. Amin, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1989.

Salam, Burhanuddin. Logika Materil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakara: Rineka Cipta, 1996.

Sadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna, . Bandung: Penerbit Mizan, 1993.

Surya, Muhammad, “Integrasi Tauhid I1mu dalam Sistem Pendidikan Nasional", dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid  Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.

Tafsir, Ahmad,  “Asumsi Filosofis Tauhid dan Pembaruan Sistem Pendidikan", dalam Hendar Riyadi (ed.) Tauhid ilmu  dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.

Zohar, Danah dan Ian Marshall,  SQ: Spiritual Intligence-The Ultimate Inteligence, terjemahan Rahmani Astuti Bandung: Penerbit Mizan, 2001.

 



[1]Fazlur Rahman, Islam,  (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 120.
 
[2]Sayed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modem.  (Bandung: Penerbit Mizan.1994). hlm. 155.
[3] Ibid, hlm. 187.
[4]John Naisbit dkk. Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Tekhnologi, (Bandung: Pustaka Mizan.2001). him. 46.
 
[5]Ahmad Tafsir. "Asumsi Filosofis Tauhid clan Pembaruan sistem Pendidikan". Dalam Hendar Riyadi (ed.) Taunid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Bandung: Penerbit Nuansa. 2000). hlm. 66.
 
[6]Sayed Hossein Nasr, Op. at., hlm. 144.
 
[7]Burhanuddin Salam. Logika Materil FIisafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, RinekaCipta, 1996). hlm. 105
 
[8]
[9] Ismail Razy AI-Faruqi. Tauhid, (Bandung. Pustaka. 1988). hlm. 45.
[10]Tauhid merupakan perkembangan makna pada tahap pengertian bahasa aqidah yakni wabbada-yuwabbidu-tawbkian. aI-wabbad merupakan sosok yang memiliki kekhususan-kekhususan. lihat penjelasan Ibrahim Muhammad ibn Abdullah AI-Buraikan. Pengantar Studi Aqidah Islam. diterjemahkan oleh Muhammad Anis Matta. (Jakarta: Litbang Pusat Studi Islam AI-Manar. tth). him. 4.
 
[11]Al-Qur'an surat aI-Zumar/39 :38.
[12]Bertauhid adalah manipestasi dari kesadaran terhadap kalimat tiada Tuhan Selain A11ah" dan implikasinya terlihat dari keseluruhan proses dan aspek kehidupan yang tetap mengakar pada kesadaran tauhid, lihat Muhammad Qutub, Lailaha illa al-llah Sebagai Aqidah Syari’ah dan Sistem Kehidupan, diterjemahkan oIeh Syafril HaIim, (Jakarta: Robbani Press. 1996), hIm.37.
[13]Mastuki HS. "Tauhid sebagai paradigma pendidikan Islam(sebuah bagan filosofis)".daIam Jurnal Madania’ Volume 2 Nomor 2. April1999, hlm. 4-16.
 
[14]M. Amin Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, (Bandung, Mizan, 1989), hlm. 18.
 
[15]AI-Qur'an surat al-Hasyr 59: 22.
[16]Ibn 'Arabi. Al-Futuhat al-Makkiyah, (BeirUt.Dar Sadr, tth), Juz II. hlm. 420.
 
[17]Jalaluddin Rahmat. "Dari tauhid ibadah kepada tauhid ummah". Maka1ah Seminar Nasional Tauhid Sosial dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammacliyah Yogyakarta tanggal 28 Apn11995.
 
[18]AI-Qur'an surat al-A'raf: 154: Hud;15: 61.
[19] Ayat Dimyati. "Manhl!1JQumi: Sludi Konsep AJ-Quran tentang Tauhid Ilmu", Hendar Riyadi (ed), (nama buku) Op.cit, him. 39.
[20]Al-Qur'an surat aI-Rum 30: 30.
 
[21]Al-Qur' an surat aI-Zariyat 54: 56.
[22]Al-Qur'an surat ai-An 'am 6: 162.
[23]Al-Qur'an surat 2: 30
[24]Al-Qur' an surat Fussilat 41: 53.
[25]AI-Qur'an surat al-Alaq 96: 1.
 
[26]~uh~ Baqir ~. FlJislJflJtun.!(.Bandung: Penerbit Mizan,
1993), him. 107.
 
[27] . : 21>Potensi atZlu kenwnpuan ini Mia pada setiap orang, Danah Zohar dan
Ian Marshal1menyebutnya sebagai spiritualquestion (SQ),daJam bukunya. SQ:
Spiritual Inte1ligence- The Ultimate Inteligence. diterjemahkan oleh Rahmani
Astuti, (Bandung: Penerbit Mizan,2001), him. 74.
 
[28] t7AI-Qur'ansurat al-Qiyamahl/5: 14.
 
[29] 28 Ibn Qayyim aI.Jauzi. Madarij al-Salik!n, (Beirut: Dar aI-Kutub aI-
'llmiyah, 1988), Juz I. him. 139.
 
[30] 29AI-Qur'ansurat al-Baqarahl2:124-129.
 
[31]~ AI-Qur'an surat aJ-AJaq96: 4.
 
[32] 31 Noeng Muhadjir. "Integrasi Tauhid dalam Sistem Pendidikan
Nasional", Kamrani Buseri dkk. (ed), Substansi Pendidikan Islam &jian Teoritis
dan Antisipatip Abad XXI. (Banjarmasin: lAIN Antasari, 1977), him. 42.
 
[33] 3ZAI-Qur'an sUrat AJj 1rni3rt3: 190-191.
 
[34] 33M.Amin.Abdullah, "Reintegrasi epistimologi keilmuan umum dan
agama". dalam Juma/ PeTta.Vol.5 No.1 Januan 2002. him. 48-52.
 
[35] 34MuhammadSurya. "lntegrasi Tauhid llmu dalam Sistem Pendidikan
Nasional". Hendar Riyadi (ed.). Tauhid Dmu dan Imp/ementasinya dalam
?enaiaJXan.i5anciung:Penerbii Nuansa. 2000), him.84
 
[36] 35Noeng Moehadjir. Metodologi Penelitiaã Kualiiatif, (Yogyakarta: Rake
Sarasin. 1992). him. 226.
 
[37] 36Ibid. him. 227.
 
[38] 37KomaruddinHidayat. "Ketikaagama menyejarah". dalam Jum/l/ Perta.
Vol.4 No.2 Pebruari 2001. him. 35-41.
 
[39] Noeng Muhadjir. Op. at., hIm.227.
 
[40] S.Nasution. Asas-a.sasKurikuJum,(Jakarta: Bumi Aksara. 1995). hIm.
 
[41] 40Al-Qur'an surat aI-RUni30: 30.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar