Budaya Tatakrama dan Sopansantun (2)


Sejak tonggak Era Reformasi tegak di tahun 1998 ditandai dengan ikrar "saya mundur" kata Pak Soeharto dan tugas Presiden diemban oleh Pak Habibi, maka eporia kebebasan berbicara dan berdedikasi sehingga kekuatan sosial bangkit. Dalam menikmati kekuatan dan kebangkitan sosial itu, terasa sekali sering muncul pembicaraan yang kelewat batas kebiasaan dan keadaban yang selama ini dipelihara dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Nusantara. Bahkan warna kehidupan sosial dan pola interaksi terjadi pergeseran. 

Salah satu contoh ketika memanggil Presiden, masyarakat sudah terbiasa menyapa khususnya di media dengan julukan Bapak dan Ibu. Tapi itu bergeser dan sejak itu sampai sekarang sudah biasa terdengan serta tertulis  nama saja tanpa ada panggilan Bapak atau Ibu. Lebih gila lagi bahwa membuly seperti kebiasaan masyarakat atau kelompok di daerah lain sudah akrab di Indonesia termasuk provokasi dan kampanye hitam. Lebih parah lagi didukung oleh kondisi masyarakat yang relatif rata rata pendidikannya rendah, dan saat ini omongan buly jadi trend pula?. 

Bila ditelusuri dalam catatan perjalanan sejarah kehidupan kemasyarakatan sesungguhnya sifat membuly, memprovokasi, memecah belah dan menekan adalah cara cara kolonial yang dipraktekkan oleh Belanda dulu. Termasuk korupsi, kolusi, dan Nepotisme adalah khazanah yang disifati penjajah dalam usaha merusak kesatuan dan persatuan bangsa.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar