APAKAH DENGAN AGAMA ILMU AKAN PADAM ? (bag. 4)




Bila dalam pandangan dunia plus hidupnya sudah meniadakan sesuatu realitas (yang ada) dibalik alam nyata ini-metafisik-Tuhan, maka inilah yang membentuk cara pandang hidupnya, termasuk urusan mencari ilmu (Epistemoligi). ILMU BEBAS NILAI yakni mesti bebas dari nilai "boleh-tidak"- "halal-haram" atau aturan Etis dan Moral atau nilai kearifan lokal, boleh-boleh saja, karena memahami alam hanya butuh eksprimen, observasi, dan verivikasi sebuah dugaan tentang alam. 


Peneliti adalah penyelidik untuk tahu gambaran alam dari luar alam itu sendiri. Ibarat tukang potret bahwa dengan kameranya ia memotret sasaran katakan ia memotret kota Jakarta dari udara lewat pesawat, dari bukit yang tinggi, dari sebelah kanan-kiri serta segala sudut dan hasil potret itulah berpeluang untuk disimpulkan wujud kota Jakarta dan terbangunlah teori, sebab diterima oleh semua karena itulah faktanya. 

Betul sekali kajian dengan proses Objektifisme boleh saja dianggap  tidak berurusan dengan nilai (FIQIH) sesuai perspektif sekularisme dikarenakan alam hidup dengan alur mekanika kepastian dengan asumsi ada dalam alur energi dengan membentuk ruang dan waktu. Tapi mindset pembelajar, niat para peneliti, tujuannya dsb...dsb...sangat perlu nilai. Dan boleh disebutkan tidak berurusan  atau bertempat  pada Epistemologi, lalu dimana ?


Dengan unsur Aqidah atau keesaan penciptaan (esa zat, sifat dan perbuatan yang tunggal) dalam perspektif Islam tentu tidak mungkin dibuang dari Ilmuan khususnya manusia beriman, terkait juga dalam proses pembelajar secara luas. Bila tidak berkaitan maka pasti muncul jiwa jiwa yang sempit dan kosong dari unsur kesadaran. Akal pasti tidak akan rela membatasi diri. Kenapa? Hanya dalam agama bisa diperoleh "jawaban tentang kemana tujuan hidup" atau "kenapa manusia diciptakan".  Hingga apa fungsi alam dan mau diapakankah alam ini semua ?. 


Betul bila banyak ahli menyampaikan kalau soal nilai itu urusan penggunaan ilmu (Axiologi). Tapi di urusan; Apa Hakekat Alam (Ontologi)  juga tidak boleh bebas nilai. Subjektivitas Wahyu atau kesadaran Tuhan sebagai Pencipta dan Alam memgikuti AturanNya harus dibangun dalam Otaknya Ilmuan. Sehingga Alam bukan datang dan jadi berkebetulan (kebetulan saja) dengan memiliki energi atom, ia dari sebuah titik kecil atau sekalian nol lalu  ada sendiri, tapi ia diadakan Tuhan. Nol itu adalah tiada menjadi ada. Ada Atom ada speice kecil "bukan muncul sendiri". Alam itu awalnya "Rotqon" (dicipta Tuhan sebagai benda kecil yang padu) baru "Fafataqnahu" (benda itu dipecah, dibelah, dipisah-pisah). Bukankah ini bisa jadi asumsi fisika? Dan metode ilmiah sebagai jalan verivikasi ? Lalu "Bigbang" itu sebagai hipotesisnya? Maka teruslah Iqro dengan Bismirabbik. Permisilah sama Alloh sebab alam adalah miliknya. Maka belajarlah dengan ucapan "Bismillah". Bukankah ini Epistemologi?

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar